Menurutnya limbah plastik sebelumnya sudah masuk dalam Konvensi Basel. Namun limbah plastik masuk dalam Annex IX yang dalam pengaturannya belum menyebutkan jenis limbah plastik yang bisa didaur ulang dan yang tak bisa didaur ulang.
Kemudian dalam amandemen Konvensi Basel yang diadopsi dalam sidang 29 April – 10 Mei 2019, limbah plastik mulai ditertibkan dengan lebih detail dalam Annex II, Annex VIII, dan Anex IX.
Di mana, Annex II meliputi limbah plastik yang tercampur kayu, kain, dan lain-lain yang dilarang masuk ke negara Indonesia karena berkategori sampah yang dilarang dalam UU 18 tahun 2008.
"Ada perubahan di Annex II, VIII dan IX, Annex II terkait dengan tercampur sampah tidak boleh. Tapi itu kita udah atur di Undang-Undang Nomor 18 kan memang itu tidak boleh," jelas dia.
Kemudian, untuk Annex VIII merupakan limbah plastik yang terkontaminasi limbah bahan beracun berbahaya (B3) atau tercampur dengan limbah B3.
"Annex VIII tercampur limbah B3 itu juga tidak boleh, itu sudah jelas kita atur dalam PP No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun tidak boleh masuk Indonesia,” kata Rosa Vivien.
Selanjutnya, Annex IX yaitu limbah plastik yang bisa didaur ulang dan dibuat produk tertentu. Proses ekspor-impor limbah plastik dalam daftar itu tidak membutuhkan notifikasi. Sehingga dalam regulasi nasional Indonesia telah diatur namun lemah dalam pelaksanaan.
"Annex IX bisa di recycle amandeman itu ada yang bisa di-recycle dan tidak butuh notifikasi untuk impornya. ini berjalan dengan Undang-Undang kita," imbuhnya.
Selain itu, Vivien juga mendesak Kementerian Perdaagangan untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016. Di mana aturan tersebut secara keseluruhan mengatur tentang Tata Cara Importasi Limbah Non B3.
"Kemudian perintahnya Pertauran Menteri Perdagangan Nomor 31 harus segera direvisi," imbuhnya.