Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah belum melirik nuklir sebagai sumber energi kelistrikan. Alasannya, Biaya Pokok Produksi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) masih mahal dibanding yang lain.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengaku sudah berdiskusi dengan beberapa pihak pengembang PLTN, di antaranya Rosatom dari Rusia. Dalam diskusi tersebut, Jonan menanyakan Biaya Pokok Produksi yang dikeluarkan untuk menghasilkan listrik dari PLTN.
"Mengenai PLTN ini kalau penawaran yang saya terima langsung dari Rosatom, yang pertama tarif listrik terjangkau," kata Jonan, saat rapat dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (15/7/2019).
Advertisement
Baca Juga
Rosatom mengajukan Biaya Pokok Produksi PLTN sebesar 12 sen per kilo Watt hour (kWh). Besaran harga tersebut masih lebih mahal dibanding Biaya Pokok Produksi listrik rata-rata nasional yaitu sekitar 8 sen per kWh.
"Rosatom menawarkan 12 sen per kWh. Kalau 12 sen per kWh, kalau mau longterm dengan rata-rata BPP listrik nasional misal 8 sen per kWh, ini menarik," tuturnya.
Jonan mengungkapkan, Biaya Pokok Produksi listrik dari PLTN yang ditawarkan Rosatom masih berat, sehingga pemerintah belum melirik penggunaan tenaga nuklir untuk sektor kelistrikan.
Di sisi lain masyarakat masih mengkhawatirkan dampak negatif penggunaan energi nuklir sehingga masih membutuhkan sosialisasi.
"Kalau harganya kompetitif kita bisa katakan, tapi kalau 12 sen kurang (kompetitif). Selain memberi pengertian ke masyarakat, harganya juga masih tinggi," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jepang Berencana Ganti Penggunaan Energi Fosil ke Nuklir
Jepang menyerukan upaya lebih jauh untuk memangkas emisi karbon dengan mendorong penggunaan energi terbarukan dan juga energi nuklir, meskipun pernah mengalami krisis pelelehan reaktor nuklir Fukushima tahun 2011.
BACA JUGA
Dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (69/6/2019) laporan resmi mengenai energi, yang digunakan kabinet menyebutkan Jepang menghadapi tugas mendesak untuk mengurangi emisi karbon yang berasal dari layanan umum.
Sebab itu semua sangat bergantung pada bahan bakar fosil, untuk mengganti kekurangan energi nuklir yang lebih bersih.
Seruan itu muncul sementara reaktor nuklir Fukushima secara perlahan mulai dioperasikan kembali di tengah-tengah sentimen anti-nuklir sejak krisis Fukushima tahun 2011.
Jepang menginginkan pengembangan lebih lanjut energi terbarukan dan menetapkan target 22 hingga 24 persen sambil mempertahankan penggunaan energi nuklir dengan level yang sama.
Jepang juga bertekad untuk mengurangi emisi karbon 26 persen dari kadar tahun 2013, pada tahun 2030.
Advertisement