Liputan6.com, Jakarta PT PLN (Persero) lebih memilih ‎membayar denda dibanding mengoperasikan pembangkit listrik yang harga jual listriknya tinggi. Hal ini dinilai jauh lebih efisien.
Pelaksana tugas Direktur Utama PLN Djoko Abumanan mengatakan, PLN akan membayar denda take or pay karena tidak menyerap listrik dari pembangkit yang dinonaktifkan. Perusahaan tersebut mengevaluasi pengoperasian pembangkit, untuk menyeimbangkan pasokan listrik dengan pertumbuhan konsumsi listrik.
Advertisement
Baca Juga
"Kita lebih baik take or pay-lah, yang mati-mati itu tetap Kita bayar," ‎kata Djoko, di Jakarta, Jumat (19/7/2019).
Menurut Djoko, meski PLN tetap merugi karena mengeluarkan uang untuk membayar denda take or pay‎, tetapi keputusan tersebut lebih baik ketimbang tetap membeli listrik dari pembangkit. Sebab denda take or pay lebih murah dibanding membeli listrik dari pembangkit.
"Lebih murah bayar itu. Ya rugi, tapi dari pada lebih mahal,"‎ ujarnya.
Evaluasi pengoperasian pembangkit listrik dilaterbelakangi realisasi pertumbuhan konsumsi listrik sampai semester I 2019 sebesar 4,31 persen, tidak sesuai dengan yang diharapkan perusahaan. Hal ini disebabkan penurunan produksi sektor industri, sebagai konsumen listrik skala besar.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Konsumsi Listrik Tak Sesuai Harapan
Sebelumnya Djoko mengungkapkan, akibat konsumsi listrik yang tidak sesuai harapan, PLN pun melakukan penyesuaian pasokan listrik. Dengan mengurangi pengoperasian pembangkit yang Biaya Pokok Produksinya tinggi.
"Sehingga kalau pertumbuhan seperti ini PLN ada merit order. Mana sih yang murah pembangkit baru atau lama," tuturnya.
Pembangkit yang saat ini dikurangi pengoperasianya adalah yang menggunakan sumber energi Bahan Bakar Minyak‎ (BBM), bahkan PLN mengharapkan mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang sumber energinya BBM untuk wilayah Jawa Bali.
"Yang BBM dulu kita sepakat tahun ini haram hukumnya. Tahun lalu banyak kita bakar BBM, tahun ini satu semester ini Jawa Bali nggak usah bahan bakar BBM," tuturnya.
Djoko melanjutkan, jenis pembangkit berikutnya yang mengalami pengurangan pengoperasian adalah Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), namun pembangkit tersebut tetap bersiaga digunakan dalam kondisi‎ tertentu untuk menjaga kehandalan sistem.
"Gas stand by nggak diperoasikan tapi pada waktu terentu untuk keandalan," tuturnya.
‎Sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan menjadi tumpuan, sebab Biaya Pokok Produksinya masih terbilang rendah.‎"Masih murah 7 sen (PLTU) masih murah, kalau bandingannya 1 (PLTU) banding 3 (gas) banding 6 (BBM)," tandasnya.
Advertisement
Tetapkan Tarif Listrik, PLN Ikuti Kata Pemerintah
PTÂ PLNÂ (Persero) akan mengikuti regulasi yang ditetapkan pemerintah dalam menetapkan Tarif Tenaga Listrik (TTL).Â
Plt. Executive Vice President Corporate Communication & CSR Dwi Suryo Abdullah mengatakan, sebagai perusahaan penyedia listrik negara, pasokan listrik kepada masyarakat menjadi prioritas utama PLN.
Selain kehandalan sistem, sisi ekonomi juga sangat diperhatikan, hal ini demi ketersediaan listrik yang terjangkau bagi masyarakat yang diwujudkan dalam Tarif Tenaga Listrik (TTL) yang tidak pernah mengalami kenaikan sejak 2015, bahkan mengalami penurunan dan tetap sejak 1 Januari 2017.
"Hal ini dilakukan untuk mendukung daya saing produk industri dan manufaktur sehingga memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional," kata Dwi, di Jakarta, Rabu (3/7/2019).
Sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Pasal 34 ayat 1, tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan DPR RI. Penetapan tarif tenaga listrik dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan harus mendapat persetujuan dari DPR.
"Selanjutnya PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan mengikuti semua regulasi dan ketetapan yang diambil Pemerintah," tuturnya.
Penetapan Tarif Tenaga Listrik yang diatur oleh Pemerintah, dikenal dengan Tarif Adjusment (TA) baik untuk golongan tarif nonsubsidi maupun subsidi dihitung berdasarkan tiga hal, yaitu kurs dolar AS, inflasi dan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP).
Dalam menentukan tarif, pemerintah sangat memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat, sehingga dimungkinkan hingga akhir tahun 2019 tidak ada kenaikan tarif.
"Dalam upaya turut serta berkontribusi dalam penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar US$, maka mari kita menggunakan produk dalam negeri sehingga kurs Rupiah menguat yang nantinya akan mampu mendorong tarif listrik untuk turun," pungkas Dwi. Â