Tak Lagi Impor, Indonesia Kini Kembangkan Beras Khusus untuk Sushi

Tercatat impor terakhir beras Japonica pada 2014 sebesar 1.079 ton atau senilai Rp 18 miliar.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 09 Agu 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2019, 12:00 WIB
sushi-130522b.jpg
Ilustrasi Sushi

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi mengatakan, Indonesia sudah berhasil menghentikan impor beras Japonica selama kurun waktu 2015-2019. Jenis beras ini biasanya digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan sushi.

Sebelumnya, tercatat impor terakhir beras Japonica pada 2014 sebesar 1.079 ton atau senilai Rp 18 miliar.

"Namun kini Indonesia bahkan termasuk dalam deretan penghasil beras Japonica disamping Jepang, Amerika Serikat, Prancis, Korea Selatan, dan Thailand," ujar Suwandi di Jakarta, seperti dikutip Jumat (9/8/2019).

 

Sebagai informasi, beras Japonica yang banyak tumbuh dan ditanam petani di Jepang banyak digunakan sebagai sumber pangan utama di restoran-restoran Jepang dan Korea. Jenis beras ini memiliki ciri-ciri kadar amilosa sekitar 12-15 persen, tekstur lengket, dan biasanya digunakan sebagai bahan utama pembuatan sushi.

Di Indonesia varietas beras yang hampir sama dengan Japonica ini dikenal dengan beras Tarabas. Beras Tarabas resmi dilepas oleh Menteri Pertanian pada Mei 2019, dan dinyatakan legal untuk diperdagangkan dan ditanam di seluruh wilayah Indonesia Tanah Air.

"Sejalan dengan kebijakan tersebut, kita telah melakukan upaya serius untuk mengembangkan beras Tarabas," ungkap Suwandi.

Dia menyebutkan, perkembangan sebaran tanaman Beras Tarabas di Indonesia cukup menggembirakan. Saat ini, keberadaan Beras Tarabas telah menyebar ke berbagai daerah, seperti di Jawa Barat (Subang, Karawang dan Cianjur), Jawa Timur, dan Lampung, dengan luas pertanaman sekitar 4.000 ha dan produktivitas rata-rata 50 kwintal per ha. Secara harga, petani menjualnya pada kisaran Rp 15 ribu per kg.

"Keberhasilan pertanaman ini tentu perlu diapresiasi dengan baik, mengingat sampai saat ini beras khusus lainnya belum mampu diproduksi massal di dalam negeri," ucapnya.

 

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Stok Beras Tarabas Meningkat

Beras
Ilustrasi Beras (Istimewa)

Menurut Suwandi, dengan melihat pesatnya perkembangan pertanaman tarabas di Indonesia, maka sangat mungkin dalam dua atau tiga tahun ke depan stok Beras Tarabas akan terus berlipat dan menjadi beras unggulan tersendiri di Indonesa.

Ditambah lagi sudah adanya pengakuan dari pedagang beras Vietnam yang mengaku kaget dengan kualitas beras Japonica produk lokal yang dihasilkan di Karawang, Jawa Barat.

"Beras Tarabas yang ada di Karawang tersebut berukuran lebih besar dari beras Japonica yang biasa ditemukan di negaranya. Dengan ukuran bulir beras yang lebih besar dari yang lain pembuatan sushi menjadi lebih efisien dan secara otomatis akan lebih disukai oleh produsen sushi di berbagai negara," jelasnya.

Suwandi menyatakan, sampel beras Tarabas sebanyak 100 kg senilai Rp 25 ribu per kg sudah dikirim dua kali ke Jepang oleh eksportir beras PT Soyiz. Dia menyampaikan, beberapa negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia juga bahkan berminat terhadap beras Tarabas Indonesia.

"Dan ternyata mendapat pujian dan respon positif dan sedang dalam proses negosiasi ekspor lebih lanjut. Intinya kita siap memasuki pangsa pasar Internasional untuk memenuhi kebutuhan beras Japonica di luar negeri," pungkasnya.

Harga Tak Kompetitif, Beras Indonesia Tak Laku Diekspor

Beras
Ilustrasi Beras (Istimewa)

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Karyanto Suprih mengatakan, rencana Indonesia untuk mengekspor beras masih sulit terealisasi dalam waktu dekat. Faktor penyebabnya tak lain karena harga beras Indonesia yang tidak kompetitif dibandingkan dengan negara-negara produsen beras lainnya.

"Logika sederhana kan kita jual dengan harga yang bersaing dong. Kita tidak laku kalau harga kita tidak kompetitif," kata dia, saat ditemui, di JCC, Jakarta, Jumat (5/7/2019).

Harga beras Indonesia yang mahal kata dia bisa disebabkan karena ongkos produksi yang tinggi. Ongkos produksi tinggi dikarenakan pola produksi yang masih konvensional.

"Ekspor kan sederhana aja, kalau kita lebih produksinya, maka ekspor saja pertanyaannya kita harus lebih kompetitif baik dari sisi harga maupun kualitas," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso mengungkapkan Indonesia masih sulit mengekspor beras ke luar negeri karena cost produksi (ongkos produksi) beras Indonesia yang terbilang mahal. Sebab, Indonesia masih menggunakan cara konvensional dalam mengelola beras.

"Yang butuh beras kita itu banyak, tapi sayang harganya tidak masuk," tuturnya di Jakarta, pada Selasa 2 Juli 2019.

Dia menjelaskan, karena beras Indonesia yang terlalu mahal, beras dalam negeri kalah diminati dibandingkan dengan negeri-negeri tetangga.

"Beras kita terlalu mahal, bahkan seburuk-buruknya gabah kita itu masih lebih mahal dibandingkan gabah luar negeri. Cost produksi kita terlalu mahal," imbuhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya