Gubernur BI: Suku Bunga Nol Persen Tak Jamin Ekonomi Maju

Bank Indonesia mencatat sudah ada negara-negara maju yang suku bunganya rendah tapi tak efektif mendorong pertumbuhan

oleh Tommy K. Rony diperbarui 29 Agu 2019, 15:48 WIB
Diterbitkan 29 Agu 2019, 15:48 WIB
BI Tahan Suku Bunga Acuan 6 Persen
Gubernur BI Perry Warjiyo memberikan penjelasan kepada wartawan di Jakarta, Kamis (20/6/2019). RDG Bank Indonesia 19-20 Juni 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI7DRR sebesar 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan bahwa suku bunga nol persen sudah terbukti bukan jaminan ekonomi negara bisa maju. Ia berkata sudah ada negara-negara maju yang suku bunganya rendah tapi tak efektif mendorong pertumbuhan.

Perry menyebut kini bank sentral sudah tidak dapat mengandalkan suku bunga saja. Berbagai negara juga mulai memadukan kebijakan suku bunga dan kuantitatif.

"Terlihat di sejumlah negara maju suku bunga sudah nol tapi kurang mampu menjaga stabilitas harga atau bahkan mendorong pertumbuhan, sehingga di sejumlah negara maju melakukan pelonggaran kuantitatif dari sisi uang beredar. Jadi respons kebijakan dari bank sentral tak bisa hanya mengandalkan suku bunga," ujar Perry di Bali, Kamis (29/8/2019).

Gubernur Perry mengingatkan bahwa tugas bank sentral di berbagai negara tak melulu soal suku bunga dan inflasi, tetapi ikut menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga kebijakan makroprudensial diterapkan di berbagai negara.

"Bank sentral perlu mengkomplementer suku bunga dengan stabilitas nilai tukar, kebijakan uang beredar, dengan kemudian makroprudensial," ujar orang nomor satu di Bank Indonesia ini.

Berkurangnya keefektifan suku bunga dinilai Perry sebagai salah satu dari empat tanda melemahnya globalisasi dan bangkitnya digitalisasi. Tiga pertanda lain adalah perang dagang, arus modal dan nilai tukar yang volatile, dan maraknya digitalisasi.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Gubernur BI: Perang Dagang jadi Tanda Kematian Era Globalisasi

Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2019
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo dan Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan keynote speech pada Konferensi Internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking (BEMB) yang ke-13. Acara yang berlangsung di Bali ini dihadiri akademisi dari seluruh dunia dan bertajuk menjaga stabilitasi di era disrupsi digital.

Pidato Gubernur Perry bertema Dead of Globalization and the Rise of Digitalization (Kematian Globalisasi dan Kebangkitan Digitalisasi). Ia mengajak para akademisi dan pengambil kebijakan memahami pertanda terjadinya fenomena itu demi merespons secara bijak dan Perry menyebut ada empat pertanda.

"Bank Sentral mesti memahami lebih baik apa saja karakteristik di era kematian globalisasi dan kebangkitan digitalisasi. Karakteristik pertama adalah kebangkitan anti-perdagangan global. Kita sedang menghadapi perang dagang antara AS dan China, serta AS dengan negara lain," ujar Gubernur Perry pada Kamis (29/8/2019) di Bali.

Menurutnya, perang dagang justru berbeda dari teori-teori ekonomi yang ada karena perdagangan global justru bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, produktivitas, dan kemakmuran. Efek perang dagang pun menjalar ke negara-negara lain, termasuk negara Asia.

"Ini perlu kita sikapi bahwa ketegangan perdagangan tidak baik. Itu akan menurunkan perdagangan internasional, menurunkan pertumbuhan ekonomi tak hanya dua negara yang berperang tapi juga semua negara," ujar Perry.

 

Pertanda Lain

Gubernur Bank Indonesia Apresiasi Peran Aktif Kepala Daerah dalam Pengendalian Inflasi
Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2019.

Gubernur BI juga mengingatkan pertanda lain kematian globalisasi dan bangkitnya digitalisasi, yakni seperti arus modal antar negara dan nilai yang volatile, respons Bank Sentral yang perlu ditingkatkan, serta maraknya digitalisasi sektor keuangan.

Kalangan ekonom memprediksi AS akan mengalami resesi pada 2021 mendatang jika perang dagang berlanjut antara AS-China. Proteksionisme AS juga berpotensi berlanjut jika Presiden Trump terpilih kembali di pemilu 2020.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya