Jumlah Pabrik Rokok Turun Drastis dalam 6 Tahun Terakhir

Pemerintah menaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen pada 2020.

oleh Septian Deny diperbarui 16 Sep 2019, 20:38 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2019, 20:38 WIB
Jumlah pabrik rokok menunjukkan penurunan signifikan dari tahun ke tahun.(Liputan6.com/Fiki Ariyanti)
Jumlah pabrik rokok menunjukkan penurunan signifikan dari tahun ke tahun.(Liputan6.com/Fiki Ariyanti)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) angka bicara mengenai keputusan pemerintah yang menaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen pada 2020.

Sebagaimana diketahui, pemerintah mengambil keputusan tersebut karena merasa adanya kepentingan mendesak untuk mengendalikan konsumsi rokok dengan dasar terjadi kenaikan konsumsi pada wanita dan anak, membasmi rokok ilegal dan meningkatkan penerimaan negara.

Ketua Gaprindo Muhaimin Moeftie mengatakan, industri rokok mengalami tren yang stagnan bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan produksi sejak 2016 adalah negatif setiap tahunnya dengan kisaran -1 persen hingga -2 persen.

Menurut dia, pada 2018 hanya tersisa 456 pabrikan dari 1.000 pabrik rokok yang ada di 2012.

"Di samping itu, kami melihat kecenderungan pasar yang kian sensitif terhadap harga, dimana mayoritas konsumen lebih memilih rokok-rokok value for money dengan kisaran harga Rp 15 ribu-Rp 20 ribu," kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (16/9/2019)

Muhaimin menjelaskan, kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen dan HJE 35 persen di 2020 akan kian menghimpit kondisi industri rokok nasional.

"Kami tidak akan memiliki ruang bergerak yang cukup untuk menciptakan inovasi produk yang diperlukan untuk menghidupkan industri ini. Akibatnya, rokok ilegal berpotensi besar naik kembali. Hal ini telah terjadi pada negara tetangga kita Malaysia di mana pada tahun 2015 pemerintah menaikan cukai rokok sekitar 43 persen akibatnya rokok illegal meningkat drastis menjadi lebih kurang 60 persen. Akibatnya, penerimaan menurun karena jumlah pembelian pita cukai merosot tajam," jelas dia.

 

 

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kenaikan Tarif Cukai Rokok

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Hal lain yang harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam menaikkan tarif cukai, lanjut Muhaimin, adalah penghidupan petani tembakau, petani cengkeh, dan para pekerja di industri ini yang jumlahnya mencapai jutaan orang.

Bagi petani, cukai yang kian tinggi dan penjualan yang menurun menyebabkan kebutuhan bahan baku berkurang. Akibatnya, para petani akan merugi karena tembakau serta cengkeh yang mereka hasilkan tidak terserap. Bagi para pekerja, penurunan volume produksi berarti potensi PHK.

Muhaimin berpendapat, kenaikkan tarif cukai dan HJE secara drastis belum tentu memiliki dampak terhadap tujuan yang ingin dicapai, yaitu penurunan prevalensi perokok, terutama kalangan anak dan perempuan.

Secara keseluruhan prevalensi merokok menunjukkan tren menurun, yaitu dari 36,3 persen (RISKESDAS, 2013) menjadi 33,8 persen (RISKESDAS, 2018).

"Kami berharap Pemerintah mau berdiskusi tentang upaya bersama untuk mendorong pengendalian konsumsi sesuai aturan yang berlaku. Namun, hendaknya hal ini dapat dilakukan tanpa melakukan langkah ekstrim yang dapat mengancam keberlangsungan industri IHT," ungkap dia.

"Gaprindo ingin Pemerintah selalu membuka pintu diskusi saat menetapkan kebijakan cukai tahun 2020 dan bersikap transparan kepada kami sebagai pelaku industri karena kenaikan cukai sebesar 23 persen dan HJE 35 persen sangat memberatkan dan terlalu tinggi," tutup dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya