Bea Cukai Ciduk 422 Pelaku Jastip Nakal

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mulai gerah menghadapi para pelaku jasa titip (jastip) yang menyalahi aturan

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Sep 2019, 18:45 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2019, 18:45 WIB
Ilustrasi belanja online
Ilustrasi belanja online. Sumber foto: unsplash.com/Mein Deal.

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mulai gerah menghadapi para pelaku jasa titip (jastip) yang menyalahi aturan. Setidaknya hingga 25 September 2019, Bea Cukai Soekarno-Hatta telah melakukan penindakan terhadap 422 kasus pelanggaran terhadap para pelaku jastip.

Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai, Heru Pambudi mengungkapkan para pelaku jasa titipan yang tidak mematuhi ketentuan tersebut telah merugikan negara sebesar Rp 4 miliar.

"Telah dilakukan sebanyak 422 penindakan dengan total hak negara yang berhasil diselamatkan sekitar Rp 4 miliar," kata dia, di kantornya, Jumat (27/9).

Dari 422 kasus tersebut, lanjutnya, penerbangan yang paling sering digunakan pelaku jastip antara lain berasal dari Bangkok, Singapura, Hongkong, Guangzhou, Abu Dhabi, dan Australia.

"Sebanyak sekitar 75 persen kasus jasa titipan didominasi oleh barang-barang berupa pakaian, berikutnya kosmetik, tas, sepatu, dan barang-barang yang bernilai tinggi lainnya," ungkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Nilainya Capai Rp 4 miliar

[Bintang] Jadwal Sholat, Imsakiyah, dan Buka Puasa Hari ke-9, 25 Mei 2018
Ilustrasi belanja Lebaran di toko online. (iStockPhoto)

Sejak Bea Cukai menerapkan program anti 'splitting' melalui PMK-112/PMK.04/2018 di Oktober 2018, terdapat 72.592 consignment notes (CN) yang berhasil dijaring di tahun 2018. Adapun nilainya mencapai Rp4 miliar dan naik di tahun 2019 sampai dengan bulan September 2019 sebanyak 140.863 CN dengan nilai penerimaan mencapai Rp28,05 miliar.

Sebagian besar barang yang terjaring antara lain barang dari kulit, arloji, sepatu, aksesoris pakaian, part elektronik, dan telepon genggam. Program anti “splitting” ini merupakan smart system berupa sistem komputer pelayanan yang akan mengenali secara otomatis nama-nama penerima barang yang mencoba memanfaatkan celah pembebasan bea masuk dan pajak impor.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Aturan Bisnis Jastip Menurut Bea Cukai

Ilustrasi Belanja Online
Ilustrasi Belanja Online (Unsplash.com/Raw Pixel)

Bisnis jasa titip atau yang biasa dikenal dengan sebutan jastip kian marak dan digemari masyarakat. Namun rupanya hal tersebut kini menjadi perhatian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

Direktur jenderal (Dirjen) Bea Cukai, Heru Pambudi, menyebutkan bahwa pada dasarnya praktik jastip merupakan sebuah bentuk bisnis atau dagang. Sehingga jastip dikategorikan sebagai barang yang kena cukai.

"Jastip itu kan sebenarnya adalah orang yang melakukan bisnis ya, sebenarnya bisnis tidak dilarang, tetapi kita mengatakan atau menghimbau bahwa bisnis untuk berdagang ini itu ada kavlingnya, kita memberikan kavling itu dan kita berharap mereka bisa melakukan dengan prosedur berdagang atau bisnis," kata Dirjen Heru saat ditemui di kantornya, Rabu (3/7/2019).

Jastip tidak dikenai cukai jika jumlah barang yang dibawa tidak melebihi batas ketentuan barang bawaan penumpang bebas cukai, yaitu di bawah USD 500.

"Nah sementara kalau memang ini dibeli atau dibawa oleh penumpang juga sudah ada kavlingnya, sehingga bea cukai sebenarnya hanya sekadar mendudukan pada porsinya," ujarnya.

Heru menjelaskan, bagi mereka para pelaku usaha jastip yang memang ingin mendapatkan fasilitas barang penumpang sesuai ketentuannya yaitu maksimal USD 500 USD.

Tetapi jika lebih dari itu, misal USD 1000, USD 2000 dan seterusnya, maka Bea Cukai akan memperlakukan barang tersebut layaknya barang dagangan dan penumpang dikategorikan sebagai pedagang.

Namun, lanjutnya, jika penumpang membawa barang dengan jenis yang mencurigakan, misalnya membawa 12 pasang sepatu dengan ukuran yang berbeda otomatis akan langsung dianggap sebagai pedagang dan dikenai cukai.

"Contohnya begini, bagi petugas bea cukai kalau seseorang membawa 12 pasang sepatu dengan ukuran yang berbeda ini kan sebenarnya indikasi bahwa dia bukan untuk kepentingan pribadi dalam rangka perjalanan dia ke luar negeri," ujarnya.

"Sehingga pada saat kami menemukan ada penumpang yang membawa 12 sepatu dengan ukuran yang berbeda kami tentu bisa menyimpulkan bahwa dia sedang berdagang. Nah kepada mereka yang melakukan transaksi seperti ini tentunya kita perlakukan dengan cara aturan dagang yaitu menyampaikan dokumen resmi, kita hitung berapa bea masuknya dan sebagainya," dia menambahkan.

Jika begitu, penumpang atau pelaku jastip harus mengurus dokumen resmi yaitu Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK)

"Penumpang itu gak perlu buat dokumen, kalau yang bisnis ada dokumen sederhana namanya yaitu PIBK sangat sederhana jadi dia cuma tulis aja itu selesai di bandara aja," ujarnya.

Sejauh ini, Heru mengungkapkan pelaku jastip yang membawa barang berlebih jumlahnya sudah mulai berkurang. Dia juga menghimbau masyarakat untuk berterus terang jika sedang melakukan praktik jastip.

"Dengan komunikasi yang bagus selama ini, ini sudah jauh berkurang. Kita tentunya terus berharap semoga masyarakat bisa fair saja kalau memang dagang kita akan siapkan ruang impor melalui prosedur bisnis, tapi kalau itu memang penumpang ya kita layani dengan prosedur penumpang," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya