Liputan6.com, Jakarta - Penyelesaian konflik lahan sawit dalam kawasan hutan sebagai pemicu utama isu deforestasi perlu menjadi prioritas Pemerintah. Karakteristik penguasaan lahan pada masing-masing lokasi serta historis adanya perubahan-perubahan regulasi pemerintah harus menjadi pertimbangkan penyelesaian konflik.
“Ada beberapa opsi bisa dilakukan seperti perubahan status kawasan hutan (pemutihan) melalui tim terpadu Rencana rencana tata ruang wilayah provinsi (RT/RWP). Opsi lain berupa penataan sawit di kawasan hutan serta melakukan pendataan dan reforma agraria melalui perhutanan sosial,” kata Direktur SPOS Keragaman Hayati (Kehati) Irfan Bakhtiar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Menurut dia, pengakuan sawit sebagai tanaman hutan sebenarnya bisa jadi pilihan. Hanya saja, implementasinya sulit serta rawan penolakan.
Advertisement
“Namun demikian, semua pihak perlu bekerja sama guna menuntaskan persoalan sekitar 3,47 hektar kebun yang ditenggarai berada di kawasan hutan,” kata Irfan.
Konflik lahan sawit tidak terlepasnya dari keberhasilan sawit mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga menyebabkan pergeseran budidaya sejumlah komoditas seperti karet dan tanaman lain.
”Karena itu, penyelesaian tumpang tindih lahan harus jadi prioritas agar Indonesia tidak dihantam terus menerus dengan isu deforestasi,” kata Irfan.
Sebelumnya, Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo mengatakan, Pemerintah tengah mengkaji beberapa opsi seperti pelepasan kawasan serta pemberian izin legal (land amnesty) untuk menyelesaikan sengketa 3,17 juta hektare kebun sawit.
“Kita masih diskusikan dengan banyak pakar hukum agar kedepan tidak menjadi persoalan baru dan dapat dibakukan dalam bentuk regulasi,” kata Prabianto.Menurut Prabianto, dalam mengambil keputusan, pemerintah akan mempertimbangkan banyak hal seperti historis adanya perubahan-perubahan regulasi pemerintah pada saat itu yang memungkinkan seseorang atau lembaga membangun kebun.
“Prinsipnya, kebijakan itu harus pro rakyat dan mampu meningkatkan kelembagaan petani sawit serta memastikan setiap perkebunan menerapkan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),” kata dia.
Menurut dia, dalam penetapan kebijakan, pemerintah mempertimbangkan beragam pendapat. Jika kebun tersebut menjadi ilegal karena regulasi tumpang tindih, bisa saja diajukan untuk pelepasan. Opsi lain berupa pemberian status legal atas kebun bisa dengan memenuhi beberapa persyaratan seperti menyelesaikan kewajiban yang selama ini belum dijalankan seperti pembayaran pajak.
“Hanya saja, karena luasan lahannya yang sangat besar, dibutuhkan waktu dan proses untuk menyelesaikan persoalan ini,” kata dia.
* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kebijakan Diterima Masyarakat
Pengamat Hukum Kehutanan dan Lingkungan DR Sadino berpendapat, kebijakan izin satu daur penanaman sawit atau sekitar 35 tahun lebih dapat diterima masyarakat dibandingkan pemutihan, land amnesty dan sebagainya yang pada akhirnya sulit dieksekusi.
Kebijakan ini juga menunjukkan apresiasi pemerintah terhadap hak masyarakat yang telah berusaha secara legal dan turun temurun pada konsesi yang belakangan diklaim sebagai kawasan hutan. Selain praktis, kebijakan ini memberi kepastian hukum dan keberlanjutan usaha.
”Selama bertahun-tahun, masyarakat dibuat bingung dan tidak nyaman dengan penyelesaian konflik lahan berlarut-larut. Padahal, sebagian besar izin diperoleh mengikuti prosedur UU melalui Pemerintah daerah. Sayangnya, izin-izin itu dengan mudah dipatahkan hanya melalui putusan Menteri yang sebenarnya telah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” tegas Sadino.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalimantan Tengah (Kalteng) Rawing Rambang mengharapkan, pemerintah pusat perlu segera merampungkan regulasi yang konsisten terkait sengketa lahan sawit. Pasalnya, Kalteng menjadi provinsi yang paling terdampak akibat sering berubahnya regulasi di tingkat pemerintah pusat.
“Ini persoalan utama di Kalteng dan perlu diselesaikan segera agar masyarakat tidak terjebak seolah merusak hutan seperti yang saat ini dituduhkan sejumlah pihak,” kata dia. Menurut Rawing, tumpang tindih regulasi telah mengakibatkan banyak konflik lahan.
Advertisement