Liputan6.com, Jakarta Langkah pemerintah yang menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga mencapai 100 persen disayangkan Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad.
Dia mempertanyakan perhitungan kenaikan yang dilakukan pemerintah tersebut. "Pemerintah harus bisa menjelaskan antara perhitungan aktuaria yang diakui oleh BPK terhadap besaran perubahan presentasi kenaikan," kata dia di Jakarta, Minggu (17/11/2019).
Pada 2016, iuran bagi Peserta PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) atau mandiri untuk kelas I hanya Rp 80.000, kelas II Rp 63.000 dan kelas III sebesar Rp 53.000. Sementara lewat Perpres 75 tahun 2019, iuran naik hingga 100 persen, di mana kelas I menjadi Rp 160.000, kelas II Rp 110.000 dan kelas III Rp 42.000.
Advertisement
"Beban itu tentu saja menjadi tidak adil bagi golongan 1 dan II dengan kenaikan hampir dua kali lipat jauh lebih tinggi dari perhitungan orang orang aktuaria yang jelas menghitung secara profesional," jelas dia.
Menurut dia, pemerintah jauh lebih tinggi menetapkan angka kenaikan iuran secara sepihak yang masuk dalam perpres. Ini bila dibandingkan kelompok-kelompok profesional yang telah menghitung biaya kenaikan dengan mengacu pada biaya keekonomian BPJS, khususnya bagi peserta mandiri. Sehingga selisih jauh ini dianggap menimbulkan persoalan.
"Kalau saya tangkap adalah pemerintah berusaha menambal defisit dengan kenaikan jauh lebih tinggi daripada biaya keekonomian. Ini patut disayangkan karena beban dari pada kesalahan ataupun keterlibatan kenaikan 4 tahun terakhir dibebankan paling tinggi kepada kelompok mandiri golongan 1 dan 2. Beban itu ditanggung untuk menambal devisit diperkirakansebesar 32,8 triliun pada 2019," jelas dia.
Secara perhitungan, lanjut dia, kenaikan yang tepat bagi peserta mandiri adalah sekitar 30 sampai dengan 40 persen. Perhitungan itu dengan melihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata stagnan di 5 persen dengan angka inflasi diperkirakan mencapai 3 persen.
"Jadi kalau sekarang peningkatan sampai 100 persen otomatis ada hal yang patut dipertanyakan menjadi tidak wajar. Kenaikan ini lah yang menjadi beban masyarakat pada nanti awal tahun 2020 akan mengurangi kemampuan masyarakat membeli, biaya pendidikan biaya sandang, pangan maupun biaya lain," pungkas dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Â
Jurus BPJS Kesehatan Kejar Para Penunggak Iuran
BPJS Kesehatan memiliki sejumlah cara untuk mengatasi para penunggak iuran kepesertaan. Salah satunya melalui edukasi serta pemahaman dasar kepada masyarakat.
"Intinya begini sebenarnya, tugas kami adalah memastikan orang tersebut teredukasi dengan baik sehingga mereka mau bayar iuran," kata Deputi Direksi Bidang Riset dan Pengembangan BPJS Pusat, Andi Afdal Abdullah di Jakarta, Minggu (17/11/2019).
Baca Juga
Pihaknya juga akan menyiapkan saluran pembayaran lebih banyak lagi guna memudahkan masyarakat dalam membayar iuran peserta BPJS Kesehatan. Untuk membuka saluran pembiayaan tersebut, pihaknya juga akan melibatkan banyak stakeholder.
"Saya kira itu isunya kepatuhan ya, sebenarnya intinya pertama jangan sampai orang mau bayar terus tidak ada tempat untuk membayar edukasi juga hal penting. Sebenarnya di aturan kami juga ada sanksi administrasi publik, tetapi apakah pemerintah menjalankan itu sekarang ini yang kami pelan-pelan edukasi masyarakat," jelas dia.
Sejalan dengan itu, Andi juga mendorong pembayaran melalui Payment Point Online Bank (PPOB) agar bisa lebih maksimal. Dengan demikian, diharapkan masyarakat ke depan dapat memilih sesuai dengan apa yang diinginkan.
"Jadi orang yang rutin membayar bisa lewat situ, tapi terutama juga untuk yang menunggak. Jadi kalau mereka menunggak harapannya dengan meluasnya chanelling pembayaran kita bisa bayar di tempat senyaman mungkin," pungkas dia.
Reporter:Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement