Liputan6.com, Jakarta Praktisi Kesehatan, Kristo Sinambela menilai ada kesalahan besar dari pemerintah pusat sehingga Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus defisit. Salah satunya, persoalan di tubuh BPJS berasal dari kesalahan gagasan atau ideologi yang dibangun pemerintah.
"Dalam pendapat saya masalah BPJS bukan masalah kecerdasan, bukan masalah manajamen, masalah BPJS terutama adalah ideologi. Menimbulkan salah kelola," kata dia dalam diskusi yang digelar di Kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (17/11/2019).
Advertisement
Baca Juga
Dia mengambil contoh, untuk biaya pengobatan pesrta BPJS Kesehatan di rumah sakit besar seperti operasi penyakit katarak mencapai sekitar Rp 8 juta.
Namun ada beberapa di luar rumah sakit yang justru menawarkan pengobatan setengah harga dari biaya rumah sakit tersebut.
"Negara sanggup memberikan operasi katarak Rp 8 juta. Kenapa gak diberikan kepada kami Rp 4 sampai Rp 5 juta siap," kata dia.
Menurutnya, selama ini pemerintah terlalu memberikan porsi terhadap rumah sakit besar untuk pogram BPJS Kesehatan. Imbasnya, justru berdampak pada dokter umum kecil mandiri dan klinik kesehatan yang belakangan mati.
"Pasca BPJS ada, puluhan ribu mantri, bidan, dokter umum kecil mandiri habis. Secara ideologi salah. Puluhan itu bangkrut. Risikonya menjangkau tenaga kerja terganggu jutaan," kata dia.
Padahal apabila porsi diberikan pemerintah lebih adil, maka defisit yang terjadi bisa diatasi. Dengan begitu, diharapkan pemerintah ke depan bisa berkolaborasi dengan rumah sakit kecil maupun yang berada di bawahnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Defisit
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah mengalami defisit sejak 2014. Pada awal penerapannya, badan usaha pelayanan kesehatan tersebut mencatatkan defisit sekitar Rp 1,9 triliun.
"Defisit BPJS dari tahun ke tahun. Kalau dilihat PMN pemerintah pada 2015 sebesar Rp 5 triliun, defisitnya tadi pada 2014 Rp 1,9 triliun," ujar Sri Mulyani saat menghadiri rapat kerja di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (21/8).
Pada 2015, defisit kemudian berlanjut menjadi Rp9,4 triliun pemerintah pun turun tangan menyuntikkan dana sebesar Rp5 triliun. Hal tersebut dilakukan agar BPJS kesehatan tetap dapat menyediakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
"Setahun kemudian di 2015 langsung meledak ke 9,4 triliun, 2016 agak turun sedikit ke 6,7 triliun karena ada kenaikan iuran. Sesuai dengan Prepres iuran itu tiap 2 tahun di riview namun semenjak 2016 sampai sekarang belum diriview lagi," jelas Sri Mulyani.
Defisit masih terus terjadi pada tahun berikutnya. Pada 2017 membengkak menjadi Rp13,8 triliun, tak tinggal diam pemerintah pada saat itu menyuntik lagi dana kepada BPJS kesehatan sebesar Rp3,6 triliun. Demikian pula 2018 defisit sebesar Rp19,4 triliun dan 2019 yang diprediksi akan lebih besar.
"Di tahun 2018 defisitnya mencapai Rp19,4 triliun, kami menginjeksinya 10,3 triliun. Masih ada Rp9,1 triliun di 2018 yang belum tertutup, 2019 ini akan muncul lagi defisit yang lebih besar lagi," katanya.
Tonton Video Ini:
Advertisement