Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperkirakan jumlah angkutan penumpang untuk kapal laut pada periode Natal 2019 dan Tahun Baru 2020 (Nataru) mencapai 1,2 juta orang. Angka ini lebih rendah dari kapasitas kursi kapal yang disediakan sebanyak 3,4 juta orang
"(Perkiraan) 1,2 juta hampir sama naik dikit-lah," kata Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub, Agus H. Purnomo, saat di acara Forum Merdeka Barat di Gedung Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (11/12).
Agus mengatakan, pada masa angkutan Nataru pada tahun ini pihaknya menyediakan sebanyak 1.300 unit kapal untuk menampung masyarakat yang ingin mudik ataupun berlibur, dengan kapasitas mencapai 3,4 juta jiwa.
Advertisement
Baca Juga
"Kami monitor 51 pelabuhan, hampir 1300 kapal disiapkan semua," katanya
Selain itu, pada tahun ini pihaknya akan fokus untuk memastikan ketersediaan kapal-kapal penumpang di kawasan Indonesia bagian Timur. Mengingat, di daerah tersebut masih sangat minim.
"Penumpang akan naik sedikit, mungkin 1-2 persen naiknya dan ini kita fokuskan di daerah timur Papua-Maluku. Sumatera Utara beberapa rute kapal besar sudah mulai ke sana, tapi masih ada cadangan negara kapal navigasi kapal patroli," ungkapnya.
Berdasarkan catatan Kemenhub dari 51 pelabuhan pantau, sebaran jumlah penumpang pada realisasi angkutan Nataru 2018 di Indonesia Bagian Barat mencapai sebanyak 847.152 orang. Sedangkan di Indonesia Bagian Timur sejumlah 323.077 orang.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mulai 20 Agustus, Kapal Laut Wajib Dilengkapi Sistem Identifikasi Otomatis
Peraturan Menteri Perhubungan PM Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis (Automatic Identification System/AIS) Bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia akan diberlakukan mulai 20 Agustus 2019. Aturan itu mewajibkan semua kapal laut yang berlayar di perairan Indonesia memasang dan mengaktifkan AIS.
Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Agus H. Purnomo mengungkapkan latar belakang perlunya regulasi itu. Dikatakan bahwa pemerintah ingin ada penegakan hukum yang jelas mengenai keberadaan kapal yang berlayar di wilayah maritim Indonesia.
"Ada law enforcement, tak bisa semau-maunya kapal ke mana saja tak jelas. Kita harus bisa monitor seluruh kapal, bawanya apa saja. Memang perlu sosialisasi lebih. Saya sering ditelepon Basarnas ada kapal tenggelam, kita enggak tahu apa, ternyata kapal ikan. Jadi memang kita belum bisa lacak semua," kata dia dalam sebuah acara diskusi, di Jakarta, Selasa (6/8).
Sebagai informasi, AIS adalah sistem pemancaran radio Very High Frequency (VHF) yang menyampaikan data-data melalui VHF Data Link (VDL) untuk mengirim dan menerima informasi secara otomatis ke kapal laut lain, Stasiun Vessel Traffic Services (VTS), dan/atau stasiun radio pantai (SROP).
Ada dua kelas tipe AIS yang yaitu AIS Kelas A dan AIS Kelas B. AIS Kelas A, wajib dipasang dan diaktifkan pada Kapal Berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) yang berlayar di wilayah Perairan Indonesia.
Sedangkan AIS Kelas B juga wajib dipasang dan diaktifkan pada kapal-kapal berbendera Indonesia dengan ketentuan antara lain, Kapal Penumpang dan Kapal Barang Non Konvensi berukuran paling rendah GT 35, serta kapal laut yang berlayar antar lintas negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Selain itu, yang wajib memasang dan mengaktifkan AIS Kelas B adalah Kapal Penangkap Ikan yang berukuran paling rendah GT 60. Pengawasan penggunaan AIS dilakukan oleh petugas Stasiun VTS, petugas SROP, pejabat pemeriksa keselamatan kapal, dan pejabat pemeriksa kelaiklautan Kapal Asing.
"Kami tidak ingin ada ekor di balik urusan, semua untuk NKRI. Jangan sampai laut kita tak terjaga. Semua barang di laut perlu kita monitor, kapal siapa yang punya, muatannya apa, semuanya," ujarnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Sosialisasi Sistem Identifikasi Otomatis
Dalam kesempatan serupa, Direktur Kenavigasian Basar Antonius dalam kesempatan yang sama menambahkan, sejauh ini pihaknya sudah menggencarkan sosialisasi. Artinya, kebijakan yang akan berlaku idealnya sudah dipahami publik, terutama stakeholder yang berkaitan langsung dengan regulasi ini.
"Sudah banyak yang kita lalukan terkait sosialisasi. Kami selipkan informasi ke stakeholder terkait dengan diadopsinya proposal pada Selat Sunda dan Selat Lombok pada Januari dan Juni 2019," ujarnya.
Berkaitan dengan keamanan dan keselamatan, dia juga memperkuat stasiun VTS. Keberadaan VTS yang terintegrasi sangat dibutuhkan untuk memonitor lalu lintas pelayaran dan alur lalu lintas pelayaran serta mendorong efisiensi bernavigasi sehingga dapat menurunkan resiko kecelakaan kapal dan mampu memberikan rasa aman bagi pengguna jasa pelayaran.
Pemberian layanan jasa kenavigasian VTS akan dilakukan penarikan jasa PNBP sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Perhubungan.
Adapun penarikan jasa PNBP dimaksud dilakukan guna peningkatan kehandalan operasional VTS seperti yang sudah diberlakukan pada 21 lokasi pelabuhan yang memiliki VTS, yaitu Pelabuhan Belawan, Teluk Bayur, Dumai, Batam, Palembang, Panjang, Merak, Jakarta, Pontianak, Banjarmasin, Batu Licin, Semarang, Surabaya, Balikpapan, Samarinda, Makassar, Benoa, Lembar, Bitung, Sorong, dan Bintuni.
"Tahun depan kita juga usulkan penambahan AIS base di 25 titik untuk monitor kapal-kapal di AIS A dan AIS B," tambahnya.
Merespons hal itu, Sekretaris Umum INSA, Budi Halim, menyampaikan sejumlah pertimbangan lain. Dia mengaku bahwa INSA keberatan dengan salah satu ketentuan yang menyebut kapal tidak boleh dapat surat berlayar bila tidak memasang AIS
"Padahal ada radio dan VTS yang lain.Yang berat lainnya, nakhoda yang tidak mengaktifkan AIS maka lisensinya akan dicabut. Ini artinya kapal tidak bisa berangkat," bebernya.
Terlebih, menurutnya, dalam ketentuan IMO, hanya kapal dengan panjang 15 meter ke atas, yang wajib dipasang AIS. Artinya, tidak diatur mengenai ketentuan GT.
" PM 7 tahun 2019, tentang pemasangan dan pengaktifan AIS di kapal berukuran 35 GT ke atas, rujukannya IMO juga sudah menghapus dan mengganti aturan yang dijadikan rujukan oleh PM 7 itu," ujarnya.
Kendati demikian, bukan berarti INSA menolak secara mutlak penerapan regulasi ini. Dia menegaskan, INSA hanya keberatan pada sejumlah poin aturan.
"INSA pada prinsipnya setuju dan tidak keberatan, namun sangat bijaksana bila aturan ini bisa lebih ringan dan tidak memberatkan," tutupnya.