Liputan6.com, Jakarta - Dalam draft RUU Cipta Kerja Omnibus law, terdapat kemudahan untuk mengatur ketetapan kehalalan produk, bisa diterbitkan selain Majelis Ulama Indonesia (MUI), yakni bisa juga oleh organisasi masyarakat Islam berbadan hukum (ormas).
Hal itu tercantum dalam pasal Pasal 33 yang berbunyi Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dan dapat dilakukan oleh Ormas Islam yang berbadan hukum. Yang selanjutnya Penetapan kehalalan Produk itu dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
Baca Juga
Kemudian Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum, menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Barulah Setelah Penetapan kehalalan Produk disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.
Advertisement
Untuk setifikasi halal sendiri menurut pasal 42 aya (1) “Sertifikasi halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi bahan,” tulis RUU tersebut.
Serta sertifikasi halal bisa mengajukan perpanjang paling lambat 3 bulan sebelum masa berlaku sertifikat berakhir.
Selain itu, dalam RUU Omnibus Law, biaya sertifikasi halal menurut pasal 44 ayat 1 menyebutkan bahwa biaya dibebankan kepada pelaku yang mengajukan permohonan. Kendati begitu, terdapat kelonggaran di ayat 2 yakni bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil tidak dikenai biaya, alias gratis.
Sementara, bagi pelaku usaha yang sudah memiliki sertifikasi halal, namun ternyata produk yang dimilikinya tidak terjaga kehalalannya, maka menurut pasal 56 ayat 1 dan 2, pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikadi halal, dikenai sanksi adminstratif berupa denda sebesar Rp2 miliar, dan apabila tidak bisa membayar denda, pelaku usaha tersebut akan dipidana penjara selama lima tahun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
RUU Omnibus Law: Perusahaan Perusak Lingkungan Bakal Didenda hingga Rp 10 M
Draf Rencana Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) memuat beberapa fokus aktivitas ketenagakerjaan di Indonesia, salah satunya perlindungan terhadap lingkungan yang tentu disebabkan oleh aktivitas ketenagakerjaan tersebut.
Jika sebelumnya pengusaha yang melakukan kegiatan ketenagakerjaan dan menyebabkan kerusakan lingkungan akan dipidana dan didenda, di draf RUU Omnibus Law, pelaku 'hanya' dikenakan denda tanpa pidana saja.
Dalam draf RUU Omnibus Law yang diterima Liputan6.com, Selasa (18/02/2020), dalam pasal 98 ayat 1, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.
Kemudian dalam ayat 2 disebutkan, jika denda tersebut tidak dilaksanakan, maka pelaku harus menjalani pidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun.
Lalu dalam ayat 3 dan ayat 4, jika perbuatan merusak lingkungan tersebut sampai menyebabkan orang luka ringan maupun berat, mengalami bahaya kesehatan atau bahkan mati, maka pelaku harus menerima denda dan pidana.
"Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan oidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 4 miliar dan paling banyak Rp 12 miliar," demikian bunyi pasal 98 ayat 3.
Ayat 4 sendiri mengatur bila pelaku menyebabkan orang luka berat atau bahkan mati, maka sanksi yang dikenakan ialah pidana paling singkat 5 tahun penjara dan paling 15 tahun serta denda paling sedikit Rp 5 miliar dan paling banyak 15 miliar.
Advertisement