Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Kamis (9/7/2020), mengakui adanya penurunan kegiatan ekonomi akibat Covid-19. Sehingga BI berama Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), fokus untuk menyokong dari sisi fiskal.
“Kuartal dua kami sama-sama memandang memang ada penurunan kegiatan ekonomi karena Covid. Kami sepakat sama bu Menteri untuk fokus pada absorbsi anggaran agar ekonomi tumbuh. Stimulus fiskal bisa menggeliatkan ekonomi dengan baik dan Insyaallah Q3 Atau Q4 mulai meningkat,” ujar Perry.
Perry merencanakan, bahwa BI telah memberikan stimulus dari sisi moneter dengan penurunan suku bunga, dan masih ada ruang untuk penurunan selanjutnya jika nanti diperlukan.
Advertisement
“Kami memberikan stimulus dari sisi moneter penurunan suku bunga. Kami sudah turunkan tiga kali. Kami masih ada ruang dan akan kami tambah. Kami terus stabilisasi rupiah, penurunan yield SBN juga kami melakukan pendanaan atau QE Rp 614,28 triliun. Juga kami bantu elektronifikasi bansos supaya cepat sampai. Itu komitmen kami berdua mempercepat pemulihan ekonomi,” urainya.
Selain itu, BI bersama Kemenkeu juga sepakat untuk mempercepat absorbsi anggaran pendanaan, sesuai arahan Banggar.
“Dan sudah disetujui oleh Komisi 11 untuk pendanaan terkait Kemenkes, bansos, pelayanan umum yang Rp 397,56 triliun sudah dari BI. Sehingga tidak perlu mikir lagi, Pemerintah cukup percepat absorbsi anggaran,”kata Perry.
“Selebihnya, tentu saja akan dikeluarkan dari pasar untuk umkm dan korporasi dan UMKM kami tanggung bebannya. Sehingga Pemerintah hanya menanggung reverse repo dikurangi 1. Jadi ya 3,3 persen kemarin sudah kami bahas dan alhamdulilah Komisi 11 sepakat mengenai jatuh temponya,” sambungnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Indonesia Tidak Menuju Titik Resesi, Ini Bukti Indikator yang Diungkap BI
Bank Indonesia (BI) meyakini jika perekonomian Indonesia pada tahun ini tidak mengalami resesi, imbas dari pandemi COVID-19. Sejumlah indikator perdagangan global termasuk ekspektasi masyarakat, mulai menunjukkan tanda perbaikan menjadi landasan keyakinan.
“Ini masih dini tapi menggambarkan kita tidak menuju suatu titik resesi sebagaimana dikhawatirkan banyak orang,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo, seperti melansir Antara, seperti dikutip Kamis (9/7/2020).
Menurut dia, berdasarkan survei BI sebelumnya indikator ekspektasi masyarakat pada Mei 2020 berada pada titik yang landai, namun ada harapan penurunannya akan berhenti.
Artinya, ekspektasi positif dan optimisme mulai tumbuh terhadap perbaikan ekonomi. Indeks ekspektasi itu berada pada zona yang optimis dengan indeks 104,9, meski masih turun dibandingkan April 2020 mencapai 106,8.
Data sementara lainnya, lanjut dia, perdagangan dunia yang mulai dibuka salah satunya di China sebagai salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.
Dampaknya, lanjut dia, indeks manufaktur Indonesia atau Purchasing Managers Index (PMI) berdasarkan data HIS Markit pada Mei naik mencapai 28,6, membaik dibandingkan April 2020 mencapai 27,5.
Sedangkan memasuki normal baru pada Juni 2020 kinerja PMI kembali terangkat menjadi 39,1. “Risiko investasi relatif pada perlambatan tertahan yang menandakan ada beberapa kegiatan manufaktur sudah mulai bergerak karena link dengan dibukanya ekspor ke China,” ucapnya.
Advertisement
Kinerja Ekonomi
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat nilai ekspor Indonesia pada Mei 2020 mencapai USD 10,53 miliar atau surplus USD 2,1 miliar dibandingkan impor USD 8,44 miliar.
Sebanyak 17,04 persen ekspor Indonesia menuju China dengan komoditas yang paling banyak diekspor di antaranya besi dan baja.
“Kinerja ekspor itu relatif ada beberapa komoditas emas, besi, dan baja, itu relatif baik dan dalam waktu dekat nikel sepanjang itu segera dibuka akan memberi dorongan ekspor,” jelas dia.
Adapun kategori negara mengalami resesi apabila selama dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonominya negatif.
BPS sebelumnya mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2020 mencapai 2,97 persen atau menurun dibandingkan pertumbuhan rata-rata di atas 5 persen.
Namun, untuk triwulan kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan merosot bahkan Kementerian Keuangan memproyeksikan mencapai minus 3,8 persen. “Ini karena ada shock pada suplai dan permintaan juga disrupsi terhadap suplai,” imbuhnya.