Liputan6.com, Bandung - Amerika Serikat (AS) baru-baru ini mengkritik kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait sistem pembayaran berbasis QR nasional atau QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate (NTE).
Melalui laporan yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) pihaknya menyoroti tentang kurangnya keterlibatan pihak internasional khususnya pelaku usaha asal AS dalam proses penyusunan kebijakan QRIS.
Baca Juga
Kemudian USTR menuturkan bahwa perusahaan-perusahaan asal AS termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank merasa tidak dapat informasi yang cukup terkait perubahan sistem QR tersebut dan tidak diberi ruang untuk menyampaikan pandangan atau masukan.
Advertisement
“Perusahaan-perusahaan asal AS khawatir karena tidak diberi informasi lebih awal mengenal perubahan kebijakan QR Code, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan sistem tersebut, termasuk dalam hal bagaimana sistem itu seharusnya bisa diintegrasikan dengan sistem pembayaran global yang sudah ada,” kata USTR melalui laporannya.
Sebagai informasi QRIS diberlakukan melalui Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019 yang mewajibkan seluruh transaksi menggunakan QR Code di Indonesia mengikuti standar nasional yang telah ditentukan.
Adapun tujuan dari sistem tersebut untuk menyatukan berbagai layanan pembayaran QR agar lebih efisien dan seragam secara nasional. Namun, menurut pihak USTR kebijakan tersebut justru menyulitkan pelaku usaha asing.
Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai tidak dirancang agar kompatibel dengan sistem pembayaran internasional. Laporannya juga menyoroti pembatasan kepemilikan asing di sektor jasa keuangan dan sistem pembayaran yang dinilai semakin ketat.
Tanggapan Bank Indonesia
Melansir dari kanal Bisnis Liputan6, Bank Indonesia (BI) sendiri memberikan tanggapan terkait sorotan yang disampaikan Pemerintah AS terhadap sistem QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang dinilai sebagai salah satu hambatan perdagangan.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti menegaskan bahwa menerapkan sistem pembayaran seperti QRIS dan layanan pembayar cepat lainnya selalu dilakukan dengan prinsip kerja sama yang setara dengan negara lainnya.
“Terkait dengan QRIS yang tidak spesifik menjawab yang tadi ya. Tapi intinya QRIS ataupun fast payment lainnya, kerjasama kita dengan negara lain, itu memang sangat tergantung dari kesiapan masing-masing negara. Jadi, kita tidak membeda-bedakan,” ucapnya.
Destry juga menyampaikan sejauh ini pembayaran yang berasal dari Amerika Serikat seperti Visa dan Mastercard tidak menemui kendala di Indonesia dan kinerja keduanya dinilai tetap unggul di Indonesia meskipun kini Indonesia telah memiliki produk GPN.
“Sekarang pun sampai sekarang kartu kredit yang selalu diributi. Visa, Master kan masih juga yang dominan. Jadi itu enggak ada masalah sebenarnya,” katanya.
Advertisement
