Pengusaha Hotel Minta Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan di 2020

PHRI meminta pemerintah membebaskan PBB tahun 2020 karena hotel dan restoran yang ada saat ini tidak menghasilkan pemasukan.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Jul 2020, 13:44 WIB
Diterbitkan 14 Jul 2020, 13:15 WIB
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi B. Sukamdani. (Tira/Liputan6.com)
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi B. Sukamdani. (Tira/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan pelaku usaha membutuhkan stimulus dari pemerintah yang meringankan beban pengusaha. Ada sejumlah usulan pemberian stimulus dari pemerintah kepada pengusaha yang bisa meringankan beban pengusaha seperti pembayaran listrik dan gas.

"Relaksasi pembayaran biaya utilitas listrik dan gas," kata Hariyadi dalam Rapat Dengan Pendapat (RDP) bersama Komisi X, DPR-RI secara virtual, Jakarta, Selasa (14/7).

Dalam hal ini Hariyadi meyakinkan pada prinsipnya pengusaha ingin membayar tagihan listrik dan gas sesuai dengan penggunaan. Namun pengusaha keberatan jika pembayaran listrik dan gas dibayarkan sebesar daya penggunaan minimum.

"Pengusaha keberatan bila membayar sebesar minimum charge karena berarti lebih bayar (overpaid)," kata dia.

Selain itu, relaksasi PPh 25 yang tidak membayar cicilan dianggap kurang efektif. Sebab mayoritas pelaku usaha hotel dan restoran mencatatkan kerugian sepanjang tahun 2020.

Pengusaha meminta keringanan dalam pembayaran PBB. Pihaknya ingin pemerintah membebaskan PBB tahun 2020 karena tempat usaha yang ada saat ini tidak menghasilkan pemasukan.

"Mengingat kerugian yang besar dialami hotel dan restoran, sehingga aset tanah dan bangunan tidak memberikan manfaat keuntungan pada saat pandemi," kata Hariyadi.

Pihaknya juga meminta pemerintah memberikan penambahan modal kerja. Mengingat modal kerja perusahaan telah habis selama masa pandemi. Pengusaha juga meminta pekerja yang tidak dapat bekerja selama pandemi mendapatkan bantuan langsung tunai.

Selain itu, pengusaha hotel dan restoran meminta belanja operasional pemerintah berupa perjalanan dinas, akomodasi penyewaan ruang pertemuan dan lainnya segera dilaksanakan. Terakhir, pengusaha di sektor pariwisata ingin keberadaan maskapai penerbangan dengan rute penerbangannya tetap dipertahankan sebagai jalur konektivitas antar pulau.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Stimulus Pemerintah yang Dinilai Cukup Efektif

PHRI dan Polri Tanda Tangani Nota Kesepahaman
Ketua Umum PHRI, Hariyadi B.S.Sukamdani memberi sambutan usai menandatangani MoU dengan Polri di Jakarta, Kamis, (20/7). MoU tentang Penyelenggaraan Pengamanan Hotel dan Restoran. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sementara itu, Hariyadi mengatakan sudah ada beberapa stimulus dari pemerintah untuk sektor pariwisata yang terasa manfaatnya. Pertama relaksasi pembayaran utang kepada lembaga keuangan/

Melalui POJK 11/2020 Hariyadi menilai stimulus ini telah memberikan kelonggaran bagi debitur untuk menjadwalkan pembayaran utang kepada lembaga keuangan.

"Saat ini proses yang berjalan lancar pada lembaga keuangan dengan likuiditas yang besar," kata Hariyadi.

Meski begitu saat ini lembaga keuangan dengan likuiditas terbatas proses penjadwalan utang berjalan alot.

Surat Edaran Menteri Perindustrian Nomor 4 dan 7 tahun 2020 juga dianggap efektif bagi pengusaha. Sebab surat edaran tersebut membantu industri yang mengerjakan kebutuhan pokok masyarakat tetap dapat beroperasi. Syaratnya dengan mengajukan surat izin operasi dan mobilitas melalui daring.

Selain itu, Surat Edaran Menaker Nomor M/6/HI/00.01/V/2020 tentang THR juga membantu perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Sebab aturan ini mengizinkan perusahaan untuk membayarkan THR dengan dicicil sampai Desember 2020.

"Ini membantu perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan untuk melakukan pembayaran THR secara dicicil atau ditunda hingga Desember 2020," kata Hariyadi mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Tingkat Hunian Hotel Turun pada Mei 2020, Paling Parah Terjadi di Bali

Ilustrasi Hotel
Ilustrasi hotel. (iStockphoto)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel klasifikasi bintang di Indonesia pada Mei 2020 rata-rata 14,45 persen atau turun 29,08 poin dibandingkan TPK Mei 2019 yang sebesar 43,53 persen.

Sementara, jika dibanding dengan TPK April 2020 yang tercatat 12,67 persen, TPK Mei 2020 mengalami kenaikan sebesar 1,78 poin.

"TPK tertinggi tercatat di Provinsi Kalimantan Utara sebesar 27,02 persen, diikuti Provinsi Kalimantan Timur sebesar 26,31 persen, dan Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 26,28 persen, sedangkan TPK terendah tercatat di Provinsi Bali yang sebesar 2,07 persen," kata Kepala BPS, Suhariyanto, di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).

Dia menyampaikan TPK hotel klasifikasi bintang pada Mei 2020 dibanding Mei 2019 tercatat di seluruh provinsi, dengan penurunan tertinggi terjadi di Provinsi Bali yaitu sebesar 49,49 poin, diikuti Provinsi Papua Barat 39,14 poin, dan Provinsi Kalimantan Tengah 38,51 poin, sedangkan penurunan terendah tercatat di Provinsi Kalimantan Utara yaitu sebesar 4,43 poin.

Sedangkan jika dibandingkan dengan TPK April 2020 justru terjadi kenaikan di 21 provinsi, dengan kenaikan tertinggi tercatat di Provinsi Kalimantan Utara yaitu sebesar 16,94 poin, diikuti Provinsi Maluku sebesar 16,55 poin, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 8,19 poin, sedangkan kenaikan terendah tercatat di Provinsi Jambi yaitu sebesar 0,05 poin.

"Bila dilihat menurut klasifikasi hotel, TPK tertinggi pada Mei 2020 tercatat pada hotel bintang 1 yang mencapai 17,33 persen, sedangkan TPK terendah tercatat pada hotel bintang 5 yang hanya mencapai 12,59 persen," ujar dia.

Rata-Rata Tamu Menginap

Capella Ubud Bali Hotel terbak di dunia
Sabet posisi pertama sebagai Hotel Nomor 1 di dunia, Capella Hotels dan Resort juga sebagai Group Hotel nomor 2 di dunia.

Selain itu, BPS juga mencatat rata-rata lama menginap tamu asing dan Indonesia pada hotel klasifikasi bintang di Indonesia mencapai 1,86 hari selama Mei 2020, terjadi penurunan sebesar 0,07 poin jika dibanding rata-rata lama menginap pada Mei 2019.

Begitu pula jika dibandingkan dengan April 2020, rata-rata lama menginap pada Mei 2020 mengalami penurunan sebesar 0,07 poin. Secara umum, rata-rata lama menginap tamu asing Mei 2020 lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata lama menginap tamu Indonesia, yaitu masing-masing 3,98 hari dan 1,82 hari.

Jika dirinci menurut provinsi, rata-rata lama menginap tamu yang terlama pada Mei 2020 tercatat di Provinsi Maluku, yaitu 7,32 hari, diikuti Provinsi Sulawesi Selatan 3,09 hari, dan Provinsi Papua 3,08 hari. Sedangkan rata-rata lama menginap tamu yang terpendek terjadi di Provinsi Gorontalo sebesar 1,02 hari.

Untuk tamu asing, rata-rata lama menginap paling lama tercatat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu sebesar 8,00 hari, sedangkan terpendek terjadi di Provinsi Lampung, yaitu 1,07 hari. Sementara rata-rata lama menginap terlama untuk tamu Indonesia tercatat di Provinsi Maluku sebesar 7,32 hari, sedangkan terpendek terjadi di Provinsi Gorontalo sebesar 1,02 hari.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya