Sistem Intensifikasi Lebih Efektif Tingkatkan Panen Udang Dibanding Tambak

KKP mendorong penggunaan intensifikasi dalam budidaya udang vaname di sejumlah daerah.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Agu 2020, 14:31 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2020, 14:31 WIB
Lobster dan udang Tiger hasil tangkapan nelayan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Lobster dan udang Tiger hasil tangkapan nelayan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) , terus berupaya menggenjot produksi udang vaname demi meningkatkan devisa negara di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya dengan memperluas penerapan intensifikasi dalam budidaya udang bernilai ekonomis tersebut.

Menteri KKP Edhy Prabowo mengatakan, penggunaan sistem intensifikasi lebih produktif dibandingkan tambak yang pengerjaannya secara tradisional. Mengingat hasil udang yang diperoleh pembudidaya dengan cara anyar ini jauh lebih tinggi.

"Kalau dulu itu 10 hektare lahan dapatnya hanya 1 ton udang. Tapi sekarang 1 hektare lahan bisa menghasilkan 10 bahkan ada yang 20 ton," katanya dalam launching Buku Besar Maritim Indonesia (BBMI) dan Bank Genetik Ikan (BGI) Indonesia di Kantornya, Jumat (7/8/2020).

Selain itu, sambung Edhy, intensifikasi juga lebih ramah lingkungan dan ekonomis karena tidak membutuhkan lahan yang luas. Sehingga beban operasional yang dikeluarkan pembudidaya bisa ditekan.

Oleh karena itu, pihaknya terus mendorong penggunaan intensifikasi dalam budidaya udang vaname di sejumlah daerah. Terlebih permintaan akan udang bernilai jual tinggi ini sangat tinggi baik di dalam maupun luar negeri.

"Permintaan udang ini sangat tinggi. Tetapi produksi udang nasional baru berkisar 1 juta ton per tahun. Maka, Ini potensi kita merebut pasar dunia," tukasnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Mimpi Menteri Edhy, Jadikan Indonesia Negara Penghasil Kerapu Nomor 1 Dunia

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melakukan restocking 50.000 ekor ikan nilem ke Waduk GOR Jakabaring. (Foto: KKP)
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melakukan restocking 50.000 ekor ikan nilem ke Waduk GOR Jakabaring. (Foto: KKP)

Sebelumnya, Sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia sangat besar. Ikan, udang, kepiting, lopster termasuk kerapu. Maka tak heran jika Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo berkomitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil ikan kerapu nomor satu dunia.

"Ke depan kita ingin Indonesia sebagai pusat kerapu dunia. Kita punya ikan kerapu tikus. Dan juga di Bank Genetik Ikan (BGI) Indonesia kita tercatat sudah hampir 2000 jenis ikan terdata," kata dia dalam launching Buku Besar Maritim Indonesia (BBMI) dan Bank Genetik Ikan (BGI) Indonesia di Kantornya, Jumat (7/8/2020).

Edhy mengatakan, ikan kerapu merupakan hasil laut yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sebab harga jual kerapu kondisi hidup di dalam negeri dibanderol Rp 150 ribu. Apalagi, Indonesia telah mampu membudidayakan jenis ikan bernilai jual tinggi tersebut.

"Kita sudah mampu budidaya. Bahkan proses pemijahan ya pak, walau jumlahnya belum banyak," imbuh dia.

Namun, potensi tersebut masih belum dimaksimalkan dengan baik oleh pemerintah. Salah satunya diakibatkan oleh regulasi terkait pelarangan pengangkutan ikan hidup termasuk kerapu yang dianggap tidak ramah bagi pengembangan bisnis kerapu di Tanah Air.

"Kita ketahui harga ikan kerapu hidup di dalam negeri saja bisa mencapai Rp 150 ribu. Nah, kalau mati jadi Rp 25 ribu. Artinya kita 50 persen," jelas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya