Demi Jaga Produktivitas, Begini Cara Kementan Pacu Antisipasi Perubahan Iklim

Perubahan iklim mengakibatkan peningkatan anomali iklim serta menimbulkan risiko cukup besar bagi produksi dan produktivitas dan mutu hasil sektor pertanian, termasuk sub sektor perkebunan.

oleh stella maris pada 25 Sep 2020, 18:20 WIB
Diperbarui 25 Sep 2020, 20:22 WIB
Antisipasi perubahan iklim versi Kementan.
Antisipasi perubahan iklim versi Kementan.

Liputan6.com, Jakarta Perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian karena aktivitas pertanian sangat tergantung pada matahari, udara, tanah dan air. Dampak perubahan iklim berupa peningkatan suhu udara, perubahan pola hujan, dan peningkatan frekuensi terjadinya iklim ekstrim akan berpengaruh langsung pada sistem produksi pertanian.

Perubahan pola hujan dan pergeseran musim yang ekstrim diperkirakan akan menyebabkan lebih tingginya intensitas hujan pada musim penghujan dan semakin panjangnya musim kemarau. Hujan yang berlebihan sangat mungkin akan meningkatkan erosi, pencucian hara dan tanah longsor.

Apabila air yang berlebih tidak dapat diserap oleh tanah di hulu akan meningkatkan aliran permukaan yang akhirnya menyebabkan banjir. Sebaliknya musim kemarau yang kering akan menyebabkan cekaman kekeringan dengan jangka waktu lama.

Perubahan iklim mengakibatkan peningkatan anomali iklim serta menimbulkan risiko cukup besar bagi produksi dan produktivitas dan mutu hasil sektor pertanian, termasuk sub sektor perkebunan.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) terus mendorong dan memacu jajaran di Kementerian Pertanian, untuk lebih giat dan sigap dalam penerapan teknologi pada sektor pertanian. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya melakukan adaptasi, antisipasi dan mitigasi musim tahun 2020, sehingga ketersediaan komoditas dan produktifitas tetap aman dan terjaga.

Menyikapi hal tersebut, Direktorat Jenderal Perkebunan melalui Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya melaksanakan strategi untuk mengantisipasi, mitigasi dan adaptasi di bidang pertanian khususnya pada usaha perkebunan dalam menghadapi perubahan iklim tersebut.

Kegiatan mitigasi pada subsektor perkebunan adalah upaya yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan untuk mengurangi sumber emisi gas rumah kaca (GKR). Sedangkan adaptasi adalah tindakan penyesuaian untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim.

Emisi karbon pada subsektor perkebunan dapat diminimalisir dengan pemanfaatan limbah perkebunan, mengintegrasikan dengan ternak (kebun-ternak), mengurangi atau menggantikan pemanfaatan pestisida dan pupuk kimia dengan organik, mengurangi penggunaan herbisida dan pemanfaatan pohon pelindung sebagai penyerap karbon.

Kepala Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya Kresno Suharto, mengatakan bahwa Direktorat Jenderal Perkebunan memiliki kebijakan yaitu mendorong penerapan sistem pertanian konservasi pada wilayah perkebunan termasuk lahan kritis, gambut, DAS Hulu dan pengembangan perkebunan di kawasan penyangga sesuai kaidah konservasi tahan dan air.

Selain itu, lanjut Kresno, pihaknya juga menerapan paket teknologi ramah lingkungan, Peningkatan pemanfaatan pupuk organik, pestisida nabati, agens pengendali hayati serta teknologi pemanfaatan limbah usaha perkebunan yang ramah lingkungan. 

Peningkatan kampanye peran perkebunan dalam kontribusi penyerapan karbon, penyedia oksigen, dan peningkatan peran serta fungsi hidrologis, Penerapan pembukaan lahan tanpa bakar, Rehabilitasi kebun dan penyesuaian kebutuhan tanaman pelindung bagi komoditi tertentu yang membutuhkan dan Penerapan Teknik Budidaya yang baik (Good Agricultural Practices-GAP).

Adapun aplikasi model teknologi mitigasi dan adaptasi pada sub sektor perkebunan dimulai pada bulan Maret 2020. Pada bulan Agustus lalu (27/8), Aplikasi model teknologi mitigasi dan adaptasi telah dilaksanakan di Kelompok Tani Langgeng Tani II, Desa Tamanayu, kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.

“Pembangunan perkebunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan produktifitas dapat dipertahankan sehingga mampu mengurangi kehilangan hasil akibat dampak perubahan iklim,” ujar Kresno.

Kresno Suharto menambahkan, tahapan pelaksanakan kegiatan mitigasi dan dampak perubahan iklim dimulai dengan kegiatan sosialiasi kepada steakholder perkebunan. Sarana input yang telah diberikan kepada kelompok tani/masyarakat pekebunan berupa Pembangunan kandang ternak, ternak rumah kompos dan embung serta pembinaan teknis terkait budidaya kopi hingga pasca panen. 

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya