Liputan6.com, Jakarta Masyarakat didorong untuk terus memakai produk-produk PT Pertamina yang berkualitas. Perusahaan secara aktif terus memberikan edukasi, meningkatkan awareness produk, terutama produk non-subsidi.
Seperti BBM premium yang seharusnya digunakan untuk angkutan umum, kendaraan logistik, juga masih digunakan kendaraan pribadi. Untuk kendaraan pribadi dihimbau menggunakan BBM oktan tinggi seperti Pertamax.
Demikian pula gas elpiji 3 kilogram yang diperuntukan untuk kelompok miskin dan bukan kelompok masyarakat mampu. LPG 3 kg adalah barang subsidi sehingga penggunaannya ada kuota dari pemerintah.
Advertisement
Adapun gas untuk rumah tangga, masyarakat kaya, kelompok mampu secara ekonomi menggunakan Bright Gas.
Karena itu, PT Pertamina terus mendorong masyarakat agar menggunakan gas dan BBM sesuai dengan peruntukan.
"Dengan menggunakan BBM non-Subsidi yang sesuai dengan kendaraan akan menjadikan mesin lebih awet, pembakaran lebih optimal dan tentunya membantu menjaga lingkungan," ucap Vice President Promotion & Marketing Communication PT Pertamina, Arifun Dhalia di Jakarta, Rabu (30/9/2020).
Menurut dia, semua produk non subsidi yang dimiliki Pertamina, kini juga makin mudah diakses oleh konsumen baik melalui Layanan Pesan Antar melalui call center 135, maupun Pertamina Delivery Service (PDS).
Bahkan, bisa dipesan melalui aplikasi MyPertamina, di mana sekarang bisa melayani pembelian Pertamax series di seluruh SPBU Pertamina di Indonesia serta pembelian produk di Bright Store.
Direncanakan pada akhir September, konsumen sudah dapat melakukan pembelian produk LPG melalui fitur Pertamina Delivery Service.
Layanan PDS saat ini dilayani dari 2 Jenis Lembaga Penyalur, Untuk SPBU sudah dilayani dari 329 SPBU dan 580 Agen LPG untuk melayani produk Bright Gas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Saksikan video di bawah ini:
Buat yang Berhak
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, meminta kelompok masyarakat mampu tidak menggunakan gas elpiji 3 kilogram dan BBM subsidi karena merugikan kelompok masyarakat lain dan juga para pedagang kecil yang memang lebih berhak mendapatkan gas elpiji tiga kilogram.
"Setiap kali over, maka ini menjadi tanggungan Pertamina. Sementara ketika kuota jebol dan terpaksa ditambah oleh Pertamina, belum tentu juga diganti pemerintah karena masih perlu dihitung selisihnya dan tergantung audit BPK," jelas Mamit.
Diperlukan pengaturan lebih terperinci dalam distribusi gas subsidi. Bisa dilakukan perubahan pola seperti subsidi gas tiga kilogram dihilangkan kemudian diberikan bantuan langsung kepada kelompok miskin.
Jika pun dilakukan pengetatan, distribusi lebih tertutup, perlu dukungan data dan distribusi yang tepat sasaran. Sehingga tidak akan memunculkan kegaduhan lain yang tidak perlu.
Kata Mamit, jika kelompok masyarakat mampu masih bandel menggunakan gas elpiji 3 kilogram, bisa dipastikan kuota yang ditetapkan oleh BPH Migas akan jebol dan ujung-ujungnya justru memberatkan Pertamina dan keuangan negara. Dia pun mendorong masyarakat beralih ke produk-produk gas lain milik Pertamina terutama nonsubsidi.
"Gas melon yang notabene menjadi hak masyarakat miskin justru digunakan kelompok masyarakat mampu. Seharusnya, masyarakat tidak mengambil apa yang menjadi hak masyarakat miskin," tegas Mamit.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement