UU Cipta Kerja Disahkan, Pengusaha Tetap Jamin Hak-Hak Pekerja

Disahkannya RUU Cipta Kerja memberikan dampak positif bagi perusahaan, yakni bisa mendapatkan investor dan dapat mempekerjakan tenaga profesional.

oleh Tira Santia diperbarui 07 Okt 2020, 11:00 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2020, 11:00 WIB
FOTO: Tolak UU Cipta Kerja, Buruh di Cikarang Mogok Kerja
Sejumlah buruh melakukan aksi mogok kerja di kawasan MM 2100, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). Aksi mogok kerja dari tanggal 6-8 Oktober tersebut akibat pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR dan Pemerintah RI. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi mengatakan disahkannya RUU Cipta Kerja memberikan dampak positif bagi perusahaan, yakni bisa mendapatkan investor dan dapat mempekerjakan tenaga profesional dengan lebih mudah.

Sementara sisi negatifnya ditanggung para pekerja, karena tidak memiliki jaminan jika kehilangan pekerjaan. Terlepas dari hal-hal tersebut pihaknya berharap pada tingkat implementasinya nanti, pengusaha wajib mensejahterakan karyawannya.

“Di sisi lain pekerja menganggap dan menilai dapat melemahkan kedudukan buruh di hadapan pengusaha, mulai dari ketentuan pesangon hingga perjanjian kerja yang sangat lentur. Padahal banyak regulasi yang saat implementasi diperlukan kesepakatan antara pemberi kerja dengan pekerja,” kata Diana, kepada Liputan6.com, Rabu (7/10/2020).

Ia berpendapat, pemberlakuan RUU Cipta Kerja dapat berpotensi menimbulkan gangguan terhadap tatanan  rantai ekologis, ekonomi, dan sosial, yang saat ini ada di masyarakat  yang pada akhirnya akan menimbulkan kontra produktif.

“Sebagaimana kita ketahui bersama Praktik penggunaan omnibus law telah banyak dilakukan oleh banyak negara dalam mengatasi tumpang tindihnya regulasi, sekaligus juga kemudahan berusaha, terutama yang menggunakan tradisi common law system,” jelasnya.

Sedangkan Indonesia mewarisi tradisi civil law system, sehingga pembahasan dan penyusunannya harus dapat melibatkan seluruh komponen. Demikian Pemerintah menyampaikan adanya UU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi.

Sehingga pelayanan Pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti, dengan adanya penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dan penggunaan sistem elektronik akan menarik investor.

“Pada intinya kami sebagai pengusaha selalu berkomitmen untuk selalu mensejahterakan karyawan kami, karena kami melihat karyawan juga merupakan aset bagi kami yang perlu untuk diperhatikan. Kami sepakat dengan adanya penyederhanaan izin berusaha yang dilakukan namun tidak berarti hal-hal tentang hak yang sudah diatur dalam konstitusi itu harus dihilangkan,” pungkasnya.   

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


DPR: UU Cipta Kerja Beri Kepastian bagi Buruh dan Pengusaha

FOTO: Aksi Ratusan Buruh Jakarta Tolak UU Cipta Kerja
Massa dari berbagai serikat buruh menggelar aksi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di kawasan JIEP, Jakarta, Selasa (6/10/2020). Ratusan buruh berpawai sambil berorasi mengajak pekerja turun ke jalan menolak UU Omnibus Lawa Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

DPR RI telah meresmikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin. Pengesahan tersebut diwarnai berbagai penolakan dari kaum buruh, yang menilai kehadiran aturan baru ini bakal semakin mengecilkan posisi tenaga kerja di Tanah Air.

Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas justru menganggap, UU Cipta Kerja dapat menghadirkan kemudahan bagi pihak pekerja maupun pemberi kerja mulai dari tingkat UMKM hingga korporasi besar.

"itu memberi kepastian bagi kedua belah pihak, buruh dan pengusaha," kata Supratman kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020).

Bertolak belakang dengan pernyataan tersebut, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja (KSP) BUMN Achmad Yunus menilai, ada beberapa pasal di RUU Cipta Kerja yang bakal memberatkan para buruh dan pekerja.

Ketidakjelasan ini semakin menguat lantaran kelompok serikat pekerja yang dibawahinya saat ini belum mendapatkan lampiran sah aturan baru tersebut.

"Cluster ketenagakerjaan memberikan ketidakpastian hukum, banyak catatan dan saya tidak hapal betul pasal-pasalnya, karena sedang tidak pegang dokumennya," ujar Yunus kepada Liputan6.com.

Secara garis besar, KSP BUMN disebutnya sepakat dengan kelompok buruh/pekerja lainnya, bahwa UU Cipta Kerja bakal melemahkan posisi tenaga kerja, dan justru memperkuat perusahaan pemberi kerja.

"Intinya, kami sependapat dengan organisasi yamg lain bahwa disahkannya RUU ini menjadi UU mengkonfirmasi bahwa demokrasi kita dibangun dari, untuk dan oleh kapitalisme," tegasnya. 


Pemerintah Klaim Banyak Perizinan Dipangkas dalam UU Cipta Kerja

20151026-BKPM Luncurkan Layanan Investasi 3 Jam-Jakarta
Seorang konsumen saat berada di loket Migas kantor BKPM, Jakarta, Senin (26/10/2015). Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) merupakan komitmen pemerintah demi memberikan pelayanan prima dan cepat kepada investor. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja secara keseluruhan didominasi terkait dengan masalah perizinan.

Dengan disahkannya Undang-Undang ini pun pemerintah telah memangkas seluruh perizinan untuk membangun usaha.

"Nah itu sebenernya yang mendominasi Omnibus Law Cipta Kerja ini. Di mana kita menyederhanakan proses untuk membangun usaha. Untuk memulai start up," kata dia dalam diskusi FMB di Jakarta, Selasa (6/10/2020).

Pemerintah tak ingin, generasi milenial yang memiliki ide, menghasilkan produk dan membuat perusahaan rintisan atau start up, dan membuka lapangan kerja baru bagi orang lain, tetapi sulit untuk mengurusi izin.

"Ini problem pertama dari Omnibus Law Cipta Kerja ini. Bahwa memang karut marut perizinan yang harus diluruskan, benerin," kata dia.

Kemudian di dalam UU Cipta Kerja juga memuat mengenai masalah pajak. Menurutnya masalah pajak masoh menjadi sorotan dan paling jelek di mata EODB. Itu tidak terlepas dari sulitnya birokrasi yang dilakukan pemerintah.

"Orang mau bayar pajak kok masih merasa sulit. Itu kan aneh persepsinya. Kita pengennya orang-orang bayar pajak sesimpel mungkin, sepreditable mungkin. Inilah kemudian dibuat semakin banyak kepastian dalam konteks ini, yang juga di Omnibus Law ini," jelas dia.

Dwi Aditya Putra

Merdeka.com  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya