Konglomerasi Bisa Rontokkan Sistem Keuangan Lebih Cepat dari Krisis 1998

Sebanyak 48 grup konglomerasi keuangan menguasai 66,96 persen total aset jasa keuangan.

oleh Athika Rahma diperbarui 09 Okt 2020, 17:30 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2020, 17:30 WIB
20160801-IHSG-Melesat-Jakarta-AY
Pekerja menunjuk layar sekuritas di Jakarta, Senin (1/8). Pada perdagangan preopening, IHSG bergerak menguat 64,216 poin (1,23%) ke 5.280,210. Sementara indeks LQ45 bergerak naik 16,105 poin (1,80%) ke908.947. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Konglomerasi keuangan dinilai memiliki peran yang besar dan strategis. Di satu sisi, usaha besar suatu pihak yang berkembang dengan baik akan membawa pertumbuhan positif bagi ekonomi nasional.

Kendati, ketika satu lini bisnis usaha besar tersebut runtuh, risiko sistemik tidak bisa dihindari. Hal itu diungkapkan oleh Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira.

"Sebanyak 48 grup konglomerasi keuangan menguasai 66,96 persen total aset jasa keuangan (data Otoritas Jasa Keuangan). Kalau dibedah, orangnya di belakang itu-itu saja. Ini sebenarnya berisiko besar terhadap ekonomi," ujar Bhima dalam paparan virtual, Jumat (9/10/2020).

Bhima bilang, negara-negara maju banyak yang menentang konglomerasi keuangan. Alasannya, konglomerasi keuangan yang runtuh membawa krisis yang besar.

Contohnya, krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika Serikat, dimana konglomerasi keuangan Lehman Brothers yang lalu memicu krisis finansial dunia. Demikian pula dengan krisis utang tahun 2013.

"Krisis 2008 dan krisis utang 2013 menjalarnya lebih cepat sehingga ketika collaps, yang satu gagal, itu sistemik. Ini yang kita khawatirkan," imbuhnya.

Jika kondisi finansial grup besar tersebut sedang goyah, ditambah adanya tekanan eksternal yang kuat, maka hal ini dinilai akan merontokkan sistem keuangan Indonesia.

"Bahkan lebih cepat dari krisis tahun 1998," katanya.

Bhima juga menyoroti komposisi pemilik kekayaan di Indonesia yang dianggap sangat timpang. Menurut data Credit Suisse Global Wealth Index, sebanyak 50 persen porsi kekayaan di Indonesia dimiliki oleh 1 persen golongan saja.

"Inggris saja yang jadi negara dengan sejarah kapitalisme, 1 persen orang terkaya hanya menguasai 23,9 persen saja (atas kekayaan secara keseluruhan). Tapi Indonesia ini bahkan sudah ultra liberal capitalism," tutur Bhima.

Saksikan video pilihan berikut ini:

OJK: Aset 48 Konglomerasi Keuangan Capai Rp 7.187 Triliun

IHSG Menguat
Pekerja melintas di depan layar yang menampilkan informasi pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (8/6/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,34% ke level 5.014,08 pada pembukaan perdagangan sesi I, Senin (8/6). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus melakukan pengawasan yang super ketat terhadap 48 konglomerasi di sektor keuangan. Hingga 2019, total aset perusahaan konglomerasi keuangan mencapai Rp 7.187 triliun.

"Ada 48 industri keuangan yang sifatnya konglomerasi, terbagi menjadi dua yaitu konglomerasi keuangan dengan bisnis utama bank dan jasa keuangan non-bank," kata Staf Ahli OJK, Ryan Kiryanto dalam Live Streaming Keterangan Pers OJK bertajuk 'Stabilitas Sistem Keuangan dan Pengawasan Terintegrasi OJK' di akun YouTube Jasa Keuangan, Jakarta, Rabu (2/8/2020).

Dalam catatan OJK, ada 34 konglomerasi dengan bank sebagai entitas utama. Di sektor asuransi terdapat 8 konglomerasi, sektor perusahaan efek ada 3 konglomerasi, perusahaan pembiayaan ada 2 konglomerasi dan 1 konglomerasi dari sektor LJK Khusus.

Ryan menjelaskan, semakin mengguritanya sektor keuangan dalam sebuah konglomerasi menimbulkan potensi keuangan yang berkomplikasi dari lembaga yang sama. Namun disisi lain konglomerasi keuangan ini bisa makin efektif dalam penggunaan sumber daya dan menghasilkan pendapatan yang maksimal.

"Ini akan efektif dan maksimal untuk bisa jadi lebih cepat dengan takaran yang tepat," kata dia.

Sebagai regulator, OJK harus hadir melakukan pengawasan dalam sektor konglomerasi keuangan yang terintegrasi ini. Lewat pengawasan yang terintegrasi dapat memperkuat pengawasan keuangan yang menawarkan produk keuangan hybrid antara perbankan, asuransi dan investasi.

"OJK sebagai regulator tidak boleh ketinggalan dan harus ada di dalam market, sehingga denyut nadinya tercapture," kata Ryan.

Lewat pengawasan terintegrasi ini akan mendeteksi lebih dini risiko stabilitas sektor jasa keuangan. Dalam hal ini OJK telah menerbitkan peraturan dan infrastruktur pengawasan integrasi.

Payung hukum pengaturan pengawasan ini tertuang dalam POJK nomor 17 tahun 2014 tentang Manajemen Risiko Terintegrasi, POJK Nomor 18 tahun 2014 tentang Tata Kelola Terintegrasi dan POJK Nomor 26 tahun 2015 tentang Permodalan Terintegrasi. Sementara itu, infrastruktur pengawasan dilakukan oleh Komite Pengawasan Terintegrasi dan Unit Perizinan dan Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi.

Dengan begitu, kata Ryan, OJK telah melakukan tindakan preventif dan menciptakan situasi kondusif, sehat dan meng-engage dalam proses industri keuangan. Harapannya dengan cara ini OJK bisa memberikan sumbangan terhadap perekonomian nasional. Sehingga semua bisa berjalan lebih optimal karena regulator hadir di pasar.

"Ini yang kami lakukan dan industri keuangan kita bisa nyata dan memberikan kontribusi nyata," kata dia mengakhiri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya