Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia lewat rilis International Debt Statistics pada 12 Oktober 2020 melaporkan, Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar di antara negara berpendapatan menengah dan rendah. Indonesia menempati urutan ke-7 dengan jumlah ULN mencapai USD 402 miliar, atau sekitar Rp 5.889 triliun (kurs Rp 14.650 per dolar Amerika Serikat).
Nominal tersebut tercatat lebih kecil dibandingkan laporan Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2020, dimana ULN Indonesia mencapai USD 413,4 miliar.
Baca Juga
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, bukan hanya Indonesia yang saat ini memiliki utang luar negeri dengan nilai bombastis seperti itu. Kenaikan utang di beberapa negara lain bahkan disebutnya hingga di atas 100 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Advertisement
Menurut dia, pemerintah telah menghitung secara hati-hati dan transparan setiap aliran dana yang mengalir, termasuk utang.
"Selama ini kita bisa mendapatkan akses dari market secara reasonable. Ini juga karena Indonesia memiliki track record pengelolaan APBN yang selalu kita sampaikan ke seluruh stakeholder dalam negeri maupun investor dunia," jelasnya dalam siaran virtual, Senin (19/10/2020).
Sri Mulyani menjelaskan, tren kenaikan utang secara global saat ini terjadi lantaran banyak negara memperlebar defisit anggaran mereka. Itu tidak bisa dihindari karena mayoritas negara harus memberikan stimulus fiskal guna menopang pelemahan ekonomi.
Untuk itu, rasio utang Indonesia pada 2020 ini diprediksi mencapai 38,5 persen terhadap PDB. Sementara rasio utang di 2021 dipatok tembus hingga 41,8 persen, namun defisit diturunkan menjadi -5,5 persen.
Namun, Sri Mulyani tidak terlalu mempermasalahkan angka rasio utang tersebut, sebab ia telah melihat adanya pemulihan ekonomi pada akhir tahun ini. Dia justru berpendapat, rasio utang rendah berpotensi memberatkan negara jika pemerintahnya tidak bisa mengelola utang tersebut.
"Indonesia sendiri dengan proyeksi defisit anggaran 6,34 persen dan rasio utang 38 persen (2020), kami sudah lihat potensi pemulihan ekonomi. Kami sudah lakukan konsolidasi fiskal dengan hati-hati dan penuh kalkulasi agar ekonomi bisa membaik," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Waspada, Beban Bunga Utang Indonesia Lewati Batas Normal
Bank Dunia menyebutkan dalam laporan bertajuk International Debt Statistics (IDS) 2021, Indonesia masuk peringkat ke-6 negara berkembang dengan utang terbanyak di dunia.
Bahkan, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Agustus 2020 mengalami peningkatan menjadi USD 413,4 miliar, atau sekitar Rp 6.098,27 triliun (kurs 14.751 per dolar AS).
Anggota Komisi XI DPR Fraksi PKS, Anis Byarwati, menegaskan agar Pemerintah lebih berhati-hati dalam menetapkan ULN. Ini lantaran Debt to Services Ratio (DSR) terus naik, yang menyebabkan ULN Indonesia masuk pada tingkat waspada.
“Menurut saya, Pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan utang luar negeri (ULN),” kata Anis Kepada Liputan6.com, Selasa (20/10/2020).
Hal itu berdasarkan data APBN KiTa edisi Agustus 2020, realisasi pembiayaan utang Indonesia hingga Juli telah mencapai Rp 519,22 triliun. Realisasinya terdiri dari penyerapan SBN Rp 513,4 triliun, utang luar negeri (ULN) Rp 5,17 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp 634,9 miliar.
“Dengan realisasi ini, posisi utang Indonesia per Juli 2020 telah menyentuh Rp 5.434,86 triliun. Utang tersebut terdiri dari SBN Rp 4.596,6 triliun, pinjaman Rp 10,53 triliun, dan ULN Rp 828,07 triliun. Rasio utang terhadap PDB telah naik menjadi 34,53 persen dari sebelumnya 33,63 persen pada Juli 2020,” ujarnya.
Bahkan untuk tahun ini, bunga utang Indonesia telah mencapai Rp 338,8 triliun atau setara 17 persen dari APBN 2020. Angka ini telah melewati batas aman yang direkomendasikan IMF, yakni 10 persen.
Advertisement
Alokasi Utang
Selain itu, akibat kebijakan utang ini, DSR Indonesia pun turut naik. Data Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) semester I 2020 menunjukkan, DSR tier-1 Indonesia telah mencapai 29,5 persen.
“Angka ini telah melewati batas aman DSR yang ditetapkan IMF sebesar 25 persen,” imbuhnya.
Jelasnya, DSR tier-1 merupakan indikasi penambahan ULN yang tidak disertai dengan peningkatan kinerja ekspor dan komponen penambahan devisa lainnya.
“Dengan DSR di atas 25 persen itu, artinya jumlah utang Indonesia kini sudah masuk pada tingkat waspada. Menjadi masalah lagi, risiko yang besar ini diambil untuk sesuatu yang hasilnya belum terlihat efektif,” ungkapnya.
Demikian ia pun mengkritik upaya Pemerintah meredam dampak Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menjadi dalih pemerintah berutang, masih belum menunjukkan hasil maksimal.
“Serapan dana pemulihan ekonomi nasional untuk menangani Covid-19 masih di bawah 40 persen. Hingga 17 September lalu, baru teralokasi Rp254,4 triliun, atau 36,6 persen dari pagu Rp695,2 triliun,” pungkasnya.3 dari 3 halaman