Menengok Definisi UMKM Naik Kelas

Sejauh ini belum ada definisi dan indikator yang pasti dalam menentukan standarisasi UMKM.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Okt 2020, 19:55 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2020, 19:55 WIB
BRI membantu para pelaku UMKM
BRI memberikan bantuan ke UMKM dalam bentuk KUR.

Liputan6.com, Jakarta - Dorongan agar UMKM naik kelas terus didengungkan pemerintah. Adanya pandemi Covid-19 ini semakin memperkuat dorongan agar pelaku usaha ini bisa naik kelas sebagaimana para pelaku usaha sebelumnya yang sukses dalam bisnisnya.

Sayangnya wacana UMKM naik kelas ini dibaca perbankan menjadi bias. Alasannya, tidak ada definisi dan indikator yang pasti dalam menentukan standarisasi UMKM.

"Kalau melihat ini dari sisi bank, UMKM naik kelas ini seperti apa, karena UMK yang naik kelas ini tidak terdefinisi dengan baik," kata Kepala Divisi Bisnis Mikro, Bank BRI, Fita Arisanti dalam webinar bertajuk Revitalisasi UMKM, Pembiayaan dan Digitalisasi, Jakarta, Kamis (22/10/2020).

Fita menjelaskan saat ini tidak ada parameter yang jelas tentang UMKM. Hal ini membuat perbankan menjadi kesulitan dalam mencapai tujuan pemerintah agar UMKM naik kelas.

Untuk itu, Bank BRI pun membuat parameter dan indikator sendiri untuk menentukan kelas dari setiap UMKM. Setidaknya ada 12 indikator yang dibuat BRI untuk hal ini.

Dari indikator tersebut melahirkan 90 pertanyaan asesmen yang akan diujikan kepada para pelaku UMKM. Hasil asesmen ini yang nantinya akan menjadi tolak ukur BRI dalam memberikan pembiayaan, pelatihan dan pendampingan usaha.

"Secara periodik ini akan ada asesmen, apakah pelatihannya meningkatkan kapasitasnya. Ini usaha lebih kami untuk melayani UMKM," kata FIta.

Langkah ini menjadi penting karena menurutnya investasi dalam bentuk pembiayaan kepada pelaku UMKM tidak akan ada artinya jika dilakukan tanpa evaluasi. Lewat parameter yang dibuat perusahaan ini pada akhirnya sejalan dengan upaya meningkatkan kapasitas UMKM. Meskipun hingga kini pemerintah tidak memberikan definisi yang jelas tentang UMKM naik kelas.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Bappenas Rancang Masterlan Pengembangan Jangka Panjang UMKM

UMKM Boneka Bertahan di Tengah Pandemi Corona
Ibu rumah tangga menyelesaikan pembuatan boneka adat Indonesia di Ammie Dolls, Kawasan Depok, Kamis (13/08/2020). UMKM binaan Pertamina ini sebelum masa pandemi mampu menghasilkan 200 pasang boneka tiap bulannya dengan harga antara 135 ribu hingga Rp 200 ribu per pasang. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mendapat tugas menyusun perencanaan (masterplan) masa depan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Masterplan tersebut perlu dibuat karena pergerakan ekonomi nasional lebih banyak ditopang sektor UMKM.

"Di Bappenas kita mendapatkan tugas menyusun sebuah masterplan mengenai UMKM ke depan seperti apa," kata Suharso dalam webinar bertajuk Revitalisasi UMKM, Pembiayaan dan Digitalisasi, Jakarta, Kamis (22/10/2020).

Besarnya peran UMKM selama ini masih dibiarkan tumbuh seadanya. Tak heran sektor UMKM ini tak cepat perkembangannya dibandingkan industri atau perusahaan besar di Tanah Air.

Menurutnya, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan kategorisasi UMKM. Tujuannya agar pemerintah bisa memberikan intervensi yang tepat untuk perkembangan dan keberlanjutan UMKM.

"Harus ada paradigma baru dalam mengkategorisasikan (UMKM) sehingga kita bisa tahu persis kemana arah treatment dilakukan," kata Suharso.

Dia mencontohkan konsep program Presiden Joko Widodo di periode pertama yang fokus pada infrastruktur. Hal yang sama juga akan dilakukan untuk sektor UMKM dalam satu sampai dua tahun mendatang.

Lewat perencanaan ini, akan terlihat fokus yang akan digarap pemerintah dalam mendukung sektor UMKM. "Mungkin dalam 1-2 tahun ke depan akan menjadi fokus UMKM," kata dia.

Begitu juga dengan skala industri. Pemerintah juga ingin sektor manufaktur memiliki perencanaan yang lebih matang. Sebab dalam beberapa waktu terakhir kontribusi industri ini cenderung menurun.

Suharso menilai kondisi ini terjadi karena industri manufaktur di hulu dan hilir dikelola perusahaan besar. Sementara tidak ada penyangga yang menjembatani antara industri hulu dan hilir.

"Ini karena industri hulunya atau industri elitnya tidak punya mata rantai di tengah," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya