Liputan6.com, Jakarta - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM, Poppy Ismalina, mengkritisi pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang jadi ancaman nyata bagi lingkungan hidup di Indonesia.
Penilaian itu diberikannya lantaran UU Cipta Kerja banyak menghapus pasal-pasal di dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Padahal, ia mengatakan, aturan tersebut sudah mendapatkan respons positif dari berbagai pihak di belahan dunia.
Baca Juga
"Jadi tidak ada lagi UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup), dan kemudian kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus, cukup menjadi persetujuan," ujar Poppy, Jumat (13/11/2020).
Advertisement
Poin lainnya, ia memaparkan, kewenangan pemerintah daerah dalam uji kelayakan dihapus. Lalu Komisi Penilai Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) pun dicabut, dan diberi kewenangan kepada pemerintah pusat.
"Kemudian tak ada penegasan bahwa kelayakan lingkungan hidup harus diakses dengan mudah. Semua sanksi administrasi dijalankan oleh pemerintah pusat yang semula menjadi otoritas pemerintah daerah," sebutnya.
Poppy pun menilai UU Cipta Kerja bertabrakan dengan konservasi lingkungan, dengan adanya fasilitasi pemanfaatan hutan lindung dalam perizinan usaha. Dengan begitu, aturan tersebut dianggap menghidupkan kembali aturan penguasaan Hak Guna Usaha (HGU) lahan.
Di sisi lain, Poppy menyatakan, para akademisi dan pemerhati lingkungan juga tidak lagi mendapatkan tempat dalam perumusan UU Cipta Kerja.
"Omnibus Law tidak mengakomodasi adanya prosedur ini, karena nantinya semua diserahkan kepada pemerintah pusat. Saya agak berat menjelaskan ini, sebab bagi saya ini sebuah malapetaka," seru dia.
"Mudah-mudahan ini bisa dievaluasi dan diperbaiki ke depannya. Karena kalau ini dibiarkan, saya sangat yakin apa yang sudah kita capai dan kemudian jadi kerja keras kita dalam upaya mengurangi emisi karbon menjadi mundur," imbuhnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Skema Izin Usaha di UU Cipta Kerja Dipertanyakan
Direktur Riset Indef, Berly Dhyatmika mempertanyakan terjadinya perubahan skema perizinan berusaha di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di mana dari yang sebelumnya sama, kini perizinan diatur berbeda-beda sesuai dengan tingkat risikonya masing-masing.
"Jadi yang pertama simplenya ada yang dianggap risiko tinggi izinnya. Banyak dianggap prosesnya dan pengawasannya dianggap risiko rendah itu lebih sedikit izin dan pengawasannya, walaupun pertanyaan berikutnya adalah siapa yang meriset?," kata dia dalam diskusi virtual di Jakarta, Jumat (13/11/2020).
Dia pun mempertanyakan, siapa yang meriset dan mengatur skema perizinan tersebut. Apakah dilakukan di pusat, pemerintah daerah, atau juga melibatkan akademsi yang mendesain skema perizinan tersebut.
"Khusus daerah hutan dan pedalaman juga tidak ada data di sana. Jadi secara konsep cukup teruji tapi ketersediaan data dan analitis di pemda cukup berbeda," jelas dia.
UU Cipta Kerja dibuat untuk mempermudah perizinan usaha dari yang awalnya berbasis izin menjadi berbasis risiko dan skala usaha. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 BAB III. Tingkat risiko adalah potensi terjadinya bahaya terhadap kesehatan hingga lingkungan.
Untuk bisnis berisiko rendah perizinan usaha hanya cukup dengan Nomor Induk Berusaha (NIB). Bisnis berisiko menengah izinnya ditambah dengan pemenuhan sertifikat standar. Sedangkan yang berisiko tinggi membutuhkan persetujuan dari pemerintah pusat untuk memulai usaha.
Pada pasal berikutnya menyebutkan penghapusan izin lokasi dengan kesesuaian tata ruang. Kemudian integrasi persetujuan lingkungan dalam izin berusaha.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) hanya untuk kegiatan usaha berisiko tinggi terhadap lingkungan. UU Cipta Kerja juga menghapus syarat investasi yang ada dalam UU sektor, dan memindahkannya ke dalam Peraturan Presiden Daftar Prioritas Investasi.
Dwi Aditya Putra
Merdeka.comÂ
Advertisement