Indef Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Minus 1 Persen di Kuartal I-2021

Pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal pertama tahun ini masih akan tetap tumbuh minus.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Feb 2021, 18:05 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2021, 18:05 WIB
FOTO: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta INDEF memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2021 sekitar minus 1 persen. Prediksi tersebut tidak terlepas dari situasi penyebaran virus corona, perkembangan daya beli masyarakat dan inflasi yang dibawah 1,5 persen pada Januari 2021. 

"Kami perkirakan tahun 2021 pada kuartal I ini minus 1 persen," kata Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad di Jakarta, Minggu (7/2/2021).

Tauhid menjelaskan hingga kini beberapa hal belum menunjukkan adanya perubahan signifikan yang terjadi di awal tahun ini.

"Ini masih belum banyak berubah, ada perbaikan tetapi masih lambat," kata dia.

Apalagi, penyaluran anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) masih belum optimal. Tak hanya itu, pemberlakuan kebijakan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) juga turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.

"Apalagi kita masih akan melanjutkan kebijakan PPKM pada 9 Februari dengan skala mikro," kata dia.

Tentunya, hal ini masih akan berdampak pada sektor perekonomian. Sehingga pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal pertama tahun ini masih akan tetap tumbuh minus.

"Jadi jangan berharap dengan situasi sekarang akan tumbuh positif. Kita perkirakan minus 1 persen, belum bisa positif," kata di mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Indef: Suku Bunga Acuan Rendah Belum Cukup Dongkrak Kredit dan Konsumsi

FOTO: Indonesia Dipastikan Alami Resesi
Warga berada di sekitar Spot Budaya Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (5/11/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 minus 3,49 persen, Indonesia dipastikan resesi karena pertumbuhan ekonomi dua kali mengalami minus. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun penuh 2020 menyentuh angka -2,07 persen. Angka ini membaik dari kontraksi kuartal per kuartal yang terjadi tahun 2020.

Selain merealokasi anggaran dan menggenjot stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), kebijakan lain seperti penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) juga menjadi senjata pemerintah untuk meningkatkan konsumsi dan kredit. Kenyataannya, kebijakan tersebut masih belum cukup optimal.

"Padahal dari sisi kebijakan fiskal dah dicoba diturunkan. Jadi 3,75 persen (suku bunga acuan). Kalau normal harusnya pembentukan kapital langsung terbentuk cepat, tapi di tengah pandemi nggak berikan kontribusi signifikan," ujar Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef M Rizal Taufikurahman dalam konferensi pers Indef, Minggu (7/2/2021).

Rizal mengatakan, kemungkinan terdapat kebijakan yang tidak distimulasi dengan optimal sehingga pengusaha dan konsumen tidak merespon penurunan suku bunga acuan ini. Karena tidak ada respon, maka permintaan tidak kunjung naik.

Apalagi suku bunga kredit terus diturunkan hingga menyentuh angka hampir 11 persen. Hal ini justru dinilai memperdalam kontraksi pertumbuhan ekonomi 2020.

"PMTB (Pembentukan Modal Tetap Bruto) dengan dorongan BI rate ditekan mestinya pembentukan modalnya justru lebih tinggi. Anehnya di 2020 dengan ditekan BI Rate pembentukan modal tidak terjadi secara besarannya tidak sesuai diharapkan," kata Rizal.

Menurutnya, daya beli yang masih lemah ditambah kasus Covid-19 yang bertambah dan sulit dikendalikan membuat efektivitas penurunan suku bunga ini tidak bekerja dengan maksimal.

"Suku bunga kredit konsumsi juga diturunkan ditambah juga insentif untuk dorong supply demand driven, dengan berbagai insentif bansos untuk dorong demand driven malah negatif juga. Ini tentu permasalahannya ada di daya beli. Ditambah dengan Covid-19 yang semakin berkecamuk," jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya