Liputan6.com, Jakarta Kondisi keamanan dan keselamatan industri penerbangan di Indonesia kembali dipertanyakan. Ini setelah terjadi rentetan kecelakaan atau insiden yang melanda pesawat terbang berbagai maskapai sejak awal 2021.
Kejadian tersebut terjadi kurang dari 3 bulan sejak kecelakaan pesawat B737-500 Sriwijaya Air pada 9 Januari 2021 lalu.
Baca Juga
Seperti kecelakaan yang terjadi pada pesawat kargo B737-400 Trigana Air di Bandara Halim Perdanakusuma pada Sabtu, 20 Maret 2021.
Advertisement
"B737-400 PK YSF Trigana Air mengalami total loss, tidak bisa diperbaiki sehingga untuk evakuasi pesawat harus dipotong-potong. Dengan demikian, PK-YSF bisa dikatakan mengalami kecelakaan (accident)," jelas Pengamat Penerbangan Gatot Raharjo dalam tulisannya, Minggu (4/4/2021).
Selain dua kecelakaan itu, dalam 3 bulan pertama di tahun 2021 ini juga banyak terjadi kejadian dan kejadian serius di penerbangan.
Pada 17 Februari, Garuda Indonesia GA 642 mengalami rusak mesin saat terbang dari Makassar menuju Gorontalo sehingga harus kembali ke Makassar.
Pada 6 Maret 2021, Batik Air ID-6803 rute Jambi-Jakarta mendadak harus Return To Base (RTB) ke Jambi karena roda depan pesawat bermasalah sehingga pesawat terhenti di tengah runway dan mengakibatkan bandara ditutup sementara.
Pada 8 Maret 2021, penerbangan Batik Air ID-6561 rute Palu - Jakarta mengalami penundaan keberangkatan karena ditemukan garis yang melengkung pada permukaan lapisan kaca kokpit di bagian kiri.
"Pada 12 Maret 2021, Citilink QG776 terpaksa kembali ke Bandara Soekarno-Hatta sesaat setelah lepas landas karena ada gangguan tekanan udara di kabin," jelasnya.
Tanggal 20 Maret, Batik Air penerbangan ID-6561 dari Palu harus menunda lepas landas dan terpaksa Return To Apron (RTA) karena pilot menemukan ada komponen yang perlu pengecekan lebih lanjut.
Â
Saksikan Video Ini
Berkaca dari Kejadian di 2007
Gatot mengatakan, insiden yang terjadi pada industri penerbangan di Indonesia sejak awal tahun 2021 mengingatkan pada kondisi di tahun 2007. Kala tahun itu juga terjadi 2 kecelakaan pesawat dan beberapa kejadian lain.
Kecelakaan pertama menimpa B737-400 PK-KKW Adam Air yang jatuh dan hilang di perairan Majene, Sulawesi Barat pada 1 Januari 2007. Kemudian tanggal 7 maret 2007, B737-400 PK- GZC Garuda Indonesia tergelincir dn terbakar di Bandara Adisutjipto Yogyakarta.
"Akibat kejadian-kejadian tersebut, otoritas penerbangan Uni Eropa memasukkan Indonesia dalam UE Ban List pada Juli 2007. Artinya semua penerbangan Indonesia dilarang terbang di atas langit Eropa karena pemerintah Indonesia dianggap tidak dapat menjamin keselamatan penerbangan nasionalnya," tuturnya.
Setelah itu, menurut Gatot, keselamatan penerbangan Indonesia memang meluncur tajam ke bawah. FAA sebagai otoritas penerbangan AS juga memasukkan Indonesia dalam kategori 2 karena dianggap tidak bisa mematuhi dan melaksanakan aturan-aturan keselamatan penerbangan.
Sedangkan dari hasil audit keselamatan USOAP ICAO pada tahun 2014, nilai Indonesia hanya 45 persen meningkat sedikit pada tahun 2016 menjadi 51 persen, tetapi masih di bawah rata-rata dunia yaitu 60 persen.
Gatot mengatakan, pemerintah bisa saja menyatakan bahwa saat ini tingkat keselamatan penerbangan nasional sudah sangat tinggi.
Karena FAA sudah menaikkan Indonesia menjadi kategori 1 di tahun 2016, hasil audit ICAO sudah di angka 80,34 persen di tahun 2017 dan Uni Eropa juga sudah mencabut Indonesia dari ban list sejak tahun 2018.
"Namun kenyataan di lapangan, saat ini dalam kurun waktu tidak sampai 3 bulan sudah terjadi 2 kecelakaan dan beberapa kejadian dan kejadian serius. Seperti, pada akhir tahun 2018, terjadi kecelakaan yang menimpa pesawat B737 MAX Lion Air PK-LQP jatuh di perairan Karawang dekat dengan Jakarta," jelas dia.
Advertisement