Tembus Rp 6.000 Triliun, Ekonom Minta Pemerintah Renegosiasi Utang

Kondisi utang Pemerintah Indonesia sudah masuk level membahayakan dan mengkhawatirkan.

oleh Tira Santia diperbarui 25 Jun 2021, 10:00 WIB
Diterbitkan 25 Jun 2021, 10:00 WIB
Protes Utang Negara, Mahasiswa Bakar Ban di Depan Istana
Mahasiswa gabungan se-Jabodetabek saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/7/2019). Dalam aksinya mereka mengecam pemerintah Jokowi atas hutang negara yang melonjak, politik dagang sapi, diskon pajak 300 persen, dan krisis penegakan HAM. (merdeka.com/Iqbal S. Nugro

Liputan6.com, Jakarta - Utang Pemerintah Indonesia mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun, Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyarankan agar pemerintah renegosiasi atau restrukturisasi utang dengan para kreditur.

“Banyak negara yang melakukan renegosiasi atau restrukturisasi utang terhadap para kreditur, sehingga ruang itu sebenarnya terbuka. Bank Dunia dan IMF juga menyerukan untuk mengurangi beban utang khususnya negara-negara yang kesulitan menghadapi pandemi,” kata Bhima kepada Liputan6.com, seperti ditulis Jumat (25/6/2021).

Menurutnya, Indonesia bukan termasuk negara maju melainkan Indonesia merupakan negara berpendapatan menengah ke bawah. Sehingga Indonesia layak melakukan renegosiasi utang dengan para  kreditur. “Itu yang harusnya dilakukan. Jadi beban utangnya bukannya terus meningkat,” imbuhnya.

Kata Bhima, seharusnya sekarang Pemerintah Indonesia meminta penangguhan utang ke para kreditur sampai 2022, kalau perlu sampai 2023 agar pembayaran bunga utangnya di moratorium atau ditunda dahulu.

“Sehingga ada beban yang berkurang dan ruang fiskal bisa digunakan untuk belanja lainnya, termasuk juga untuk menurunkan tingkat korupsi atau kebocoran anggaran dan reformasi birokrasi agar lebih efisien, itu bagian-bagian pentingnya secara paralel untuk mengurangi beban utang,” ujarnya.

Selanjutnya, Bhima menyebut kondisi utang Pemerintah Indonesia sudah masuk level membahayakan dan mengkhawatirkan. Hal itu dilihat dari debt to service ratio (DSR) atau kemampuan membayar utang Pemerintah dibanding penerimaan negara sudah diatas 50 persen pada tahun 2020.

“Maka mengakibatkan Pemerintah harus membayar bunga utang yang lebih mahal untuk mendapatkan bunga pinjaman yang baru,” imbuhnya.

Jika dilihat kembali, ternyata utang tersebut belanja paling besarnya bukan untuk belanja kesehatan, melainkan untuk belanja yang sifatnya birokratis seperti belanja pegawai dan belanja barang. Tentunya itu menjadi pemborosan.

“Ditambah program-program Work From Bali yang dilakukan oleh Kemenko Marves untuk mendorong pariwisata tapi programnya justru malah blunder. Selain menambah penularan covid-19 yang berikutnya lagi utang digunakan untuk perjalanan dinas untuk waktu yang tidak tepat, padahal bisa Work From Home,” pungkasnya.   

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Utang Tembus Rp 6.000 Triliun, BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar

Protes Utang Negara, Mahasiswa Bakar Ban di Depan Istana
Mahasiswa gabungan se-Jabodetabek membakar ban bekas saat unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/7/2019). Mereka mengecam pemerintah Jokowi atas hutang negara yang melonjak, politik dagang sapi, diskon pajak 300 persen, dan krisis penegakan HAM. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020. Dalam ringkasan eksekutif yang dirilis, BPK mengkhawatirkan utang pemerintah Indonesia yang sudah mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun.

Tercatat, jumlah utang yang gigantik ini melebihi rekomendasi rasio utang dari International Debt Relief (IDR) dan International Moneter Fund (IMF).

Dalam penjelasan hasil revisi atas kesinambungan fiskal, BPK mengatakan pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.

"Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," jelas BPK, dikutip Liputan6.com, Rabu (23/6/2021).

Secara rinci, BPK menyebutkan rasio utang Indonesia melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan atau IDR, yaitu rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 hingga 35 persen.

Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melebih rekomendasi IDR 4,6 hingga 6,8 persen dan rekomendasi IMF 7 hingga 10 persen.

"Rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 hingga 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 hingga 150 persen," tulis BPK.

Adapun saat ini, utang pemerintah tercatat mencapai Rp 6.527,29 triliun atau sekitar 41,18 persen terhadap PDB.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya