Liputan6.com, Jakarta Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengungkapkan secara rinci rencana Pemerintah mengubah aturan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Sejauh ini ada skema PPN yang diterapkan adalah tarif PPn single rate 10 persen.
“Kira-kira RUU nanti, kalau saat ini apa itu undang-undang mengatur tarif PPN 10 persen. Kita mengusulkan ada penyesuaian tarif karena tadi dibanding negara lain kita masih jauh. Tetapi nanti bisa di atasi dikompensasi dengan multi tarif,” kata Yustinus dalam Webinar Nasional Dampak RUU PPN terhadap Industri Strategis Nasional, di kanal Youtube PATAKA Channel, Kamis (1/7/2021).
Baca Juga
Adapun secara rinci skema rancangan pengenaan PPN yang baru, yakni pertama ada tarif umum, di mana saat ini 10 persen dan akan dinaikkan menjadi 12 persen.
Advertisement
Kendati dinaikkan, menurut Yustinus tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata tarif negara OECD sebesar 19 persen dan negara-negara BRICS sebesar 17 persen.
Kedua ada tarif rendah (lower rate) sebesar 5 atau 7 persen dikenakan untuk barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti kebutuhan pangan dasar rumah tangga dijaga agar tetap terjangkau sehingga dikenai tarif 5 persen.
Sementara untuk jasa tertentu seperti pendidikan dan angkutan penumpang dikenai tarif 7 persen untuk menjaga agar jasa tetap berkualitas dan terjangkau.
“Ini yang kita rancang, dengan demikian kalau sekarang semua barang kena PPN 10 persen, kelak kita bisa mengatur kalau kebutuhan susu, perlengkapan bayi, perlengkapan perempuan, perlengkapan sekolah sekarang kena 10 persen kelak bisa terapkan 5 atau 7 persen itu yang sebenarnya ini diakomodir,” jelasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Selanjutnya
Ketiga, tarif tinggi (Higher rate) sebesar 15-25 persen, dikenakan untuk barang yang tergolong mewah atau sangat mewah. Tujuannya untuk memberikan keadilan lantaran kebutuhan ini dikonsumsi oleh orang kaya, contoh rumah, apartemen mewah, barang mewah seperti tas, sepatu, arloji dan berlian.
Keempat ada PPN final 1 persen, yang berlaku bagi pengusaha tertentu atau kegiatan tertentu, yakni perusahaan kena pajak (PKP) dengan peredaran usaha tertentu, misalnya PKP dengan peredaran usaha maksimal Rp 1,8 miliar. Lalu PKP dengan kegiatan usaha tertentu, misalnya pengusaha produk pertanian.
“Sehingga untuk ritel termasuk pertanian perkebunan dan lain-lain yang sulit administrasinya bisa dikecualikan dari administrasi umum pajak keluaran dikurangi pajak masukan, tetapi bisa menggunakan tarif efektif yang lebih rendah dan lebih mudah pengenaannya,” pungkasnya.
Advertisement