Liputan6.com, Jakarta Keputusan Badan Standardisasi Nasional (BSN) mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 8946:2021 untuk produk tembakau yang dipanaskan (rokok elektrik vape) menuai penolakan dari beberapa lembaga. Â
Â
Penolakan ditegaskan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Komnas Pengendalian Tembakau, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Yayasan Lentera Anak, dan Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA) yang menggelar konferensi pers bersama untuk merespon keputusan BSN, Jumat (10/9/2021).
Â
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan, rokok elektronik sama berbahayanya dengan rokok biasa.
Â
“Tidak ada yang namanya less harmful pada produk tembakau dalam bentuk apapun," katanya dalam konferensi pers online, Jakarta, Jumat (10/9/2021 ).
Â
Dia menjelaskan jika kandungan zat kimia karsinogenik di semua produk tembakau, meski dipanaskan, akan merusak paru-paru.
Â
"Apalagi nikotinnya mendorong konsumsi terus menerus. Ditambah status ber-SNI yang tidak melibatkan pakar kesehatan, sama saja ingin masyarakat menambah beban penyakit," sambungnya.
Â
SNI ini dianggap tidak tepat bahkan dapat mendorong masyarakat untuk menggunakan vape karena telah ber-SNI yang dikonotasikan aman.
Â
Produk tembakau, baik rokok konvensional maupun rokok jenis baru merupakan suatu komoditas yang legal terbatas namun tidak normal.Â
Â
Â
Dinilai Tak Melibatkan Pakar
Dalam Undang-undang No 39 Tahun 2007 tentang cukai Pasal 2 ayat 1 menyebutkan barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Â
Oleh karena itu, dikatakan proses produksi hingga konsumsinya perlu diatur secara ketat oleh pemerintah dan dilakukan pengawasan.
Â
Seperti yang telah diketahui, Direktorat Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Halal, BSN (Badan Standarisasi Nasional) telah merumuskan SNI 8946:2021 Produk Tembakau yang Dipanaskan.Â
Â
Dalam dokumen tersebut disebutkan alasan pertama SNI ini adalah untuk melindungi konsumen. Namun, tidak satupun Komite Teknis penyusunannya memuat pakar atau lembaga kesehatan, dalam hal ini juga tidak melibatkan Kementerian Kesehatan dan BPOM, yang seharusnya dilibatkan dalam bentuk pengaturan untuk produk yang harus diatur dan diawasi konsumsinya karena merusak kesehatan.
Â
Reporter: Anggun P Situmorang
Â
Sumber: Merdeka.com
Â
Â
Advertisement
Lanjutkan Membaca ↓