Kenaikan Harga Gas Hambat Target Penggunaan Energi Bersih

Lonjakan harga gas alam telah menyebabkan lonjakan penggunaan batu bara - menyebabkan tantangan bagi target energi yang lebih bersih.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 14 Okt 2021, 19:00 WIB
Diterbitkan 14 Okt 2021, 19:00 WIB
Ekspor Batu Bara Indonesia Menurun
Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan harga gas alam telah menyebabkan lonjakan penggunaan batu bara. Hal ini seiring dengan mulai bangkitnya pabrik-pabrik di Eropa dan Asia. Dunia saat ini tengah menghadapi kekurangan gas yang memburuk.

CEO TotalEnergies, Patrick Pouyanne menekankan perlunya stabilitas harga. Ia berpendapat bahwa harga gas yang lebih rendah akan mengurangi kebergantungan pada batu bara yang berisiko menyebabkan polusi tinggi.

Di sisi lain, transisi ke energi yang lebih bersih juga telah menciptakan ketidakseimbangan di pasar.

'Harga tinggi bukanlah kabar baik – meski baik untuk perusahaan saya, tetapi tidak untuk pelanggan," kata Pouyanne kepada Hadley Gamble dari CNBC selama panel Russia Energy Week di Moskow, dikutip Kamis (14/10/2021).

Pouyanne juga mengatakan bahwa mengganti batu bara dengan gas baik untuk perubahan iklim, tetapi untuk melakukan itu diperlukan harga yang lebih rendah.  "Karena batu bara saat ini adalah rajanya, jadi batu bara lebih murah daripada semua sumber energi lainnya," jelasnya.

Listrik yang dihasilkan batu bara telah melonjak di Eropa, dan harga batu bara berjangka telah meningkat lebih dari dua kali lipat di kawasan tersebut sejak awal tahun.

Peningkatan ini terjadi saat Eropa mencoba mengurangi penggunaan bahan bakar yang berpolusi. Harga gas di Eropa, sementara itu, naik hampir empat kali lipat sejak awal tahun.

"Jadi bagi kami hari ini harga terlalu tinggi. Kami harus menemukan stabilitas, kembali ke sesuatu yang lebih normal," ujar Pouyanne.

Ditambahkannya juga bahwa ini bukan hanya krisis gas Eropa, tetapi krisis global, yang berasal dari "kenaikan besar permintaan gas dari China dan Asia, serta lebih banyak permintaan gas karena transisi energi, dari batu bara menjadi gas, yang baik untuk perubahan iklim".

"Jadi itu menurut saya bisa menjadi pelajaran. Selain itu, semakin banyak kita memasukkan energi terbarukan ke dalam sistem kelistrikan kita, kita memasukkan sumber-sumber intermiten yang bergantung pada cuaca," sebutnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Perubahan Sistem Penawaran

Ekspor Batu Bara Indonesia Menurun
Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Pouyanne, seperti banyak eksekutif perusahaan minyak dan gas lainnya, telah mencatat risiko energi terbarukan yang bergantung pada cuaca.

Brasil, yang telah meningkatkan ketergantungannya pada pembangkit listrik tenaga air, mengalami penurunan curah hujan tahun ini, sementara bagian lain dunia yang telah banyak berinvestasi dalam tenaga surya dan angin mengalami lebih sedikit sinar matahari dan angin.

CEO BP, Bernard Looney, yang berbicara di panel yang sama, menyuarakan keprihatinan Pouyanne.

"Saya pikir krisis di Eropa ini telah mengingatkan kita bahwa energi adalah bagian dari sumber kehidupan masyarakat dan penggunaan energi hanya mengarah ke satu arah - dan itu meningkat," kata Looney.

"Kita semua mengerti bahwa matahari tidak bersinar di malam hari dan angin tidak selalu bertiup sehingga kita memiliki pertanyaan tentang intermiten energi terbarukan yang harus dihadapi," ujarnya.

Ketika membahas tentang dorongan pemerintah mengurangi produksi dan penggunaan bahan bakar fosil, Looney mengatakan: "Pada akhirnya, jika pasokan hilang dan permintaan tidak berubah, itu hanya memiliki satu konsekuensi, dan itu adalah eskalasi kenaikan harga. Jadi saya tidak menyarankan bahwa tanggung jawab harus dibebankan pada pelanggan atau masyarakat, tetapi ini adalah sebuah sistem, dan baik sisi penawaran maupun permintaan harus bekerja sama".

"Hanya mengoreksi masalah sisi penawaran tanpa mempengaruhi permintaan tidak akan menghasilkan sistem yang lebih stabil, itu akan menghasilkan sistem yang lebih tidak stabil," tambah Looney.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya