Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, meyakini reformasi PPN mampu mendorong keadilan bagi masyarakat. Tidak hanya itu, juga diyakini mampu antipasi perubahan ekonomi ke depan.
âReformasi PPN utamanya ingin mencapai dua hal, yaitu mampu mengantisipasi perubahan struktur ekonomi ke depan dan tetap menjaga distribusi beban pajak yang adil bagi seluruh masyarakat Indonesia,â kata Febrio dalam keterangannya dilansir dari kemenkeu.go.id, Kamis (14/10/2021).
Di sisi lain, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, menyampaikan bahwa Pokok perubahan PPN dalam UU HPP yang krusial adalah perluasan basis PPN melalui refocusing pengecualian dan fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN secara bertahap, dan penerapan PPN final.
Advertisement
Lebih Lanjut Dirjen Pajak Suryo menyebut, perluasan basis PPN melalui refocusing pengecualian dan fasilitas PPN ditujukan agar fasilitas PPN lebih adil dan tepat sasaran.
âDalam UU HPP, perluasan basis PPN untuk optimalisasi penerimaan negara tetap mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan. Khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional. Hal ini sejalan dengan prinsip perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum,â jelasnya.
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya diberikan fasilitas pembebasan PPN.
Menurut Suryo, meskipun merupakan barang dan jasa kena pajak, masyarakat berpenghasilan rendah sampai menengah tetap tidak akan membayar PPN atas konsumsi barang dan jasa tersebut seperti halnya yang sudah mereka nikmati saat ini.
Baca Juga
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Lebih Rendah
Sebagaimana diketahui, fasilitas PPN mendominasi belanja perpajakan (tax expenditure) setiap tahunnya. Pada tahun 2020 belanja perpajakan PPN mencapai Rp 140,4 triliun atau sekitar 60 persen dari total belanja perpajakan sebesar Rp 234,9 triliun.
Di mana sebesar Rp 40,6 triliun berasal dari kebijakan pengecualian pemungutan PPN oleh pengusaha kecil (threshold PPN). Sementara itu, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, yaitu menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
âHal ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang semakin membaik serta untuk mengoptimalkan penerimaan negara dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum,â jelas Suryo.
Jika merujuk kepada tarif PPN negara-negara lain, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4 persen. Sekaligus lebih rendah dari Filipina (12 persen), Tiongkok (13 persen), Arab Saudi (15 persen), Pakistan (17 persen) dan India (18 persen).
Â
Advertisement