Perpres Diteken Jokowi, Indonesia Siap Capai Target Penurunan Emisi Karbon 2030

Indonesia menetapkan ambisi yang cukup tinggi sebagai negara berkembang yakni penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri.

oleh Arief Rahman H diperbarui 02 Nov 2021, 09:45 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2021, 09:45 WIB
Hutan Bakau di Pesisir Marunda Memprihatinkan
Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia menjadi penggerak pertama (first mover) penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar (market) di tingkat global. Hal ini setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Pengesahan peraturan ini juga disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow, UK.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu menjelaskan, perubahan iklim menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama.

Pada 2016, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Komitmen tersebut kemudian dipertegas menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan nasional 2020 – 2024 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional. 

Indonesia menetapkan ambisi yang cukup tinggi sebagai negara berkembang yakni penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.

"Bahkan pada dokumen update NDC tahun 2021, melalui long term strategy – low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih awal. Dokumen terakhir tersebut juga menetapkan perlunya perhatian pada aspek adaptasi perubahan iklim sebagai salah satu target strategis nasional," kata Febrio dalam keterangan tertulis, Selasa (2/11/2021).

Selain komando dan kendali (command and control), upaya penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis pasar atau market-based instruments (MBI). Kebijakan berbasis pasar mendasarkan kebijakannya pada aspek penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut dengan carbon pricing.

Secara umum, carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan. Jika instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, maka instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment (RBP).

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Kebijakan Fiskal

Hutan Bakau di Pesisir Marunda Memprihatinkan
Warga memancing di dekat hutan bakau yang tersisa di pesisir Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Febrio melanjutkan, pemerintah sangat memahami bahwa untuk mencapai target NDC diperlukan inovasi-inovasi instrumen kebijakan.

“Penetapan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan NZE 2060 sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia Emas tahun 2045”, tegas dia.

“Instrumen NEK ini menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak yang sangat baik dan dapat menjadi momentum bagi first mover advantage penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan”, lanjut Febrio.

Diharapkan investasi hijau global akan berlomba menuju Indonesia di samping kesempatan untuk mendapatkan pembiayan berbiaya rendah hijau global.

Sebagaimana diketahui bahwa untuk mendukung pencapaian target NDC, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan fiskal termasuk pemberian insentif perpajakan, alokasi pendanaan perubahan iklim di tingkat kementerian/lembaga, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dan inovasi-inovasi pembiayaan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Sustainable Development Goals (SDG) Indonesia One dan Green Climate Fund (GCF).

Inovasi kebijakan terakhir yang ditempuh adalah implementasi pajak karbon melalui penetapan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Implementasi tersebut telah menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini di antaranya Inggris, Jepang dan Singapura dan juga sebagai salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu.

 

Transisi yang Tepat untuk Pajak Karbon

Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Climeworks)

Mengutip Sri Mulyani pada pidato pengantar RUU HPP pada sidang paripurna DPR RI tanggal 7 Oktober 2021 pemerintah akan melakukan transisi yang tepat agar pengenaan pajak karbon tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.

"Pengenaan pajak karbon dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi. Dengan demikian, sistem pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia bukan hanya adil (just), tapi juga terjangkau (affordable) dan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat luas”.

Dengan memanfaatkan first mover advantage, Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur. Industri-industri berbasis hijau akan menjadi primadona investasi masa depan. industri kendaraan listrik, sumber-sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, dan angin akan menjadi pendongkrak ekonomi dan mampu memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia serta menyerap tenaga kerja yang berkeahlian tinggi.

“Ini merupakan kesempatan emas untuk mensejajarkan bangsa Indonesia dengan negara-negara lain dan di saat yang sama mampu menjaga warisan bumi Indonesia yang sehat dan berkelanjutan yang dipinjamkan oleh anak cucu kita”, pungkas Febrio.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya