Menakutkan, Dunia Hadapi 3 Krisis Sekaligus Saat ini

Pangan, energi dan keuangan memiliki peran bagi perekonomian dunia. Misalnya, bahan bakar dan pupuk mengalami kenaikan harga yang tinggi kemudian meningkatkan biaya produksi petani.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Jun 2022, 13:36 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2022, 13:36 WIB
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam sambutannya pada acara Rakornas III Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) Tahun 2021. (Sumber: ekon.go.id )
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam sambutannya pada acara Rakornas III Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) Tahun 2021. (Sumber: ekon.go.id )

Liputan6.com, Jakarta - Dunia sedang tidak baik-baik saja. Ada tiga tantangan besar yang dihadapi saat ini yaitu krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan. Krisis ini dampak dari pandemi Covid-19 yang kemudian diperparah dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang belum juga usai.

Sekretaris Jenderal Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, perang antara Rusia dengan Ukraina meluas ke negara-negara lain dampak berbagai sanksi. Hal ini pun kemudian berdampak pada meningkatnya harga pangan, kenaikan harga energi dan pengetatan kondisi keuangan.

"Sampai sekarang belum ada solusi efektif dalam menangani kondisi krisis pangan di seluruh negara," ujar Susiwijono dalam konferensi pers, Jakarta, Jumat (10/6/2022).

Pangan, energi dan keuangan memiliki peran bagi perekonomian dunia. Misalnya, bahan bakar dan pupuk mengalami kenaikan harga yang tinggi kemudian meningkatkan biaya produksi petani. Selanjutnya hal ini yang dapat mengakibatkan harga pangan yang lebih tinggi dan hasil pertanian yang lebih rendah.

"Hal ini dapat menekan keuangan rumah tangga, meningkatkan kemiskinan, mengikis standar hidup, dan ketidakstabilan sosial," katanya.

Harga yang lebih tinggi kemudian meningkat tekanan untuk menaikkan suku bunga, yang meningkatkan biaya pinjaman negara berkembang sambil mendevaluasi mata uang mereka, sehingga membuat impor pangan dan energi menjadi lebih mahal.

Dinamika ini memiliki implikasi dramatis untuk kohesi sosial, keuangan sistem sosial dan perdamaian dan keamanan global. Makanan seharusnya tidak pernah menjadi kemewahan, itu adalah dasar, hak asasi manusia. Namun, krisis ini mungkin dengan cepat berubah menjadi bencana makanan global.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Penyakit Kronis Gizi

Kelangkaan pangan di Venezuela, menyusul krisis ekonomi dan politik yang terjadi di negara tersebut (AFP Photo)
Kelangkaan pangan di Venezuela, menyusul krisis ekonomi dan politik yang terjadi di negara tersebut (AFP Photo)

Menurut laporan Global Crisis Response Group (GCRG) pada 2022, antara 179 dan 181 juta orang diperkirakan akan menghadapi krisis pangan atau kondisi yang lebih buruk di 41 dari 53 negara. Sebanyak 19 juta lebih banyak orang diperkirakan akan menghadapi penyakit kronis gizi.

Secara global pada tahun 2023, jika pengurangan dalam ekspor makanan dari Rusia dan Ukraina mengakibatkan ketersediaan pangan yang lebih rendah di seluruh dunia. Rekam harga pangan yang tinggi, tukarkan devaluasi tingkat dan tekanan inflasi adalah faktor faktor kunci.

Sementara indeks harga pangan FAO mencapai rekor tertinggi pada Februari 2022 sebelum perang dimulai, sejak itu telah memiliki beberapa kenaikan satu bulan terbesar dalam sejarahnya, dengan rekor tertinggi pada Maret 2022.

Namun, meskipun ada situasi yang sangat menantang hari ini, beberapa faktor menyarankan situasi ketahanan pangan mungkin menjadi banyak lebih buruk lagi di musim mendatang. Biaya energi yang lebih tinggi, pembatasan perdagangan, dan kerugian pasokan pupuk dari Federasi Rusia dan Belarus telah menyebabkan harga pupuk naik bahkan lebih cepat dari harga pangan.

 

Dampak Perang Rusia-Ukraina, Krisis Energi Hantui Dunia dan Indonesia

Asap mengepul dari pabrik baja Azovstal di Mariupol, di wilayah di bawah pemerintahan Republik Rakyat Donetsk, Ukraina timur, saat perang antara Rusia Ukraina. (AP Photo/Alexei Alexandrov, File)
Asap mengepul dari pabrik baja Azovstal di Mariupol, di wilayah di bawah pemerintahan Republik Rakyat Donetsk, Ukraina timur, saat perang antara Rusia Ukraina. (AP Photo/Alexei Alexandrov, File)

Sebelumnya, konflik antara Rusia-Ukraina semakin memanas. Ini bukan pertama kalinya kedua negara ini bersitegang, sebelumnya konflik antara dua negara ini juga terjadi pada tahun 2014 dimana pemimpin Ukraina saat itu, Viktor Yanukovych, membatalkan pembicaraan kerja sama politik dan perdagangan dengan Uni Eropa.

Hal ini pun memicu bergulirnya demonstrasi di Ukraina yang menuntut mundur Yanukovych, hingga akhirnya pemimpin Ukraina pro-Rusia tersebut pun digulingkan. Tak hanya itu, pada tahun tersebut juga disebutkan bahwa Rusia berhasil merebut salah satu wilayah Krimea, Ukraina yang dimana hal ini menyebabkan situasi semakin memanas.

Per Januari 2022, intelijen Kementerian Pertahanan Ukraina melaporkan bahwa Rusia telah menempatkan lebih dari 127 ribu pasukan di dekat negaranya.

Meskipun Rusia berulang kali membantah merencanakan invasi terhadap Ukraina dan menegaskan bahwa Rusia tidak mengancam negara mana pun.

Relasi Ukraina yang semakin dekat dengan AS dan NATO juga dinilai menjadi sumber ketegangan dengan Rusia. Rusia khawatir masuknya Ukraina ke NATO bakal menimbulkan ancaman bagi wilayah mereka, di mana Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia dapat menjadi garda depan NATO untuk menyerang Rusia.

Presiden Rusia, Putin, pun juga mengungkapkan Amerika Serikat berencana mengendalikan negaranya. Dampak Ekonomi Konflik Geopolitik Rusia - Ukraina secara Global Konflik geopolitik Rusia dengan Ukraina tentunya dikhawatirkan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi seluruh negara di dunia yang sedang berusaha untuk bangkit dari pandemi.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik Rusia - Ukraina akan berdampak terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia," kata CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (25/2/2022).

Konflik juga dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran aktivitas ekspor dan impor antara Rusia dan negara Eropa lainnya, di mana Ukraina berperan penting sebagai pengikat kedua belah pihak.

 

Pesimistis

Konflik ini juga membuat para investor global pesimis berinvestasi di sejumlah negara berkembang lainnya.Hal ini dapat dilihat, dari indeks Dow Jones Industrial Average yang ditutup turun sekitar 1,8 persen, diikuti indeks S&P 500 yang juga anjlok 2,1 persen ke 4.380,3 dan Nasdaq Composite yang terkoreksi turun 2,9 persen ke 13.716,7 pada Kamis (17/2).

Selain itu, bursa Asia juga ikut terkoreksi tajam menyusul Wall Street. Jumat (18/2), indeks Nikkei 225 terlihat anjlok 1,2 persen ke 26.903,6 - diikuti oleh indeks Hang Seng yang turut melemah 0,6 persen ke 23.633,7. Hal tersebut terjadi karena investor beralih ke aset safe haven seperti obligasi dan emas yang dinilai lebih aman, menyusul ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang semakin memanas. Dampak Ekonomi Konflik Geopolitik Rusia - Ukraina di Indonesia Indonesia pun harus mewaspadai dampak konflik Rusia - Ukraina.

Menurut pengamat Indef, Dzulfian Syafrian, konflik ini akan berdampak pada naiknya harga minyak dunia yang dimana hal ini akan berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia, karena Indonesia banyak mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.  

Reporter: Anggun P Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Infografis Krisis Venezuela di Negeri Minyak
Infografis Krisis Venezuela di Negeri Minyak. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya