Giliran PBB Bunyikan Alarm Resesi pada Ekonomi Global

PBB memperingatkan bahwa dunia berada di ambang resesi dan negara-negara berkembang dampat terdampak.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 05 Okt 2022, 12:14 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2022, 12:14 WIB
Ilustrasi resesi, ekonomi
Ilustrasi resesi, ekonomi. (Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan peringatan bahwa dunia berada di ambang resesi dan negara berkembang dapat menanggung bebannya.

Dikutip dari CNBC International, Rabu (5/10/2022) konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) mengatakan bahwa kebijakan moneter dan fiskal di negara maju, termasuk kenaikan suku bunga yang berkelanjutan dapat mendorong resesi dunia dan stagnasi global.

Dalam laporannya, UNCTAD juga memperingatkan bahwa perlambatan ekonomi global di masa mendatang berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih buruk daripada krisis keuangan pada 2008 silam dan guncangan pandemi Covid-19 pada 2020.

"Semua wilayah akan terpengaruh, tetapi bel alarm paling sering berbunyi untuk negara-negara berkembang, banyak di antaranya mendekati default utang," kata laporan itu.

UNCTAD menyebut, ekonomi Asia dan global menuju resesi jika bank sentral terus menaikkan suku bunga tanpa mengambil langkah lain dan melihat ekonomi sisi penawaran, menambahkan bahwa soft landing yang ditargetkan kemungkikan tidak terjadi.

"Hari ini kita perlu memperingatkan bahwa kita mungkin berada di tepi resesi global yang disebabkan oleh kebijakan," kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan dalam sebuah pernyataan.

"Kita masih punya waktu untuk mundur dari tepi resesi. Tidak ada yang tak terelakkan. Kita harus mengubah arah," ujarnya.

"Kita juga menyerukan campuran kebijakan yang lebih pragmatis yang menerapkan pengendalian harga strategis, pajak penghasilan tinggi, langkah-langkah dan peraturan yang lebih ketat tentang spekulasi komoditas. Saya ulangi, campuran kebijakan yang lebih pragmatis ... kita juga perlu melakukan upaya yang lebih besar untuk mengakhiri spekulasi harga komoditas," beber Grynspan.

Dampak pada Asia

Ilustrasi resesi. Foto: Freepik
Ilustrasi resesi. Foto: Freepik

Laporan UNCTAD menyebut, kenaikan suku bunga tahun ini di AS akan memangkas pendapatan masa depan sekitar USD 360 miliar di negara-negara berkembang, terkecuali China, sementara aliran modal bersih ke negara berkembang telah menjadi negatif.

"Kenaikan suku bunga oleh negara-negara maju adalah yang paling rentan. Sekitar 90 negara berkembang telah melihat mata uang mereka melemah terhadap dolar tahun ini," ungkap UNCTAD.

Sementara itu, kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara diramal akan mencatat tingkat pertumbuhan di bawah lima tahun sebelum pandemi.

UNCTAD memprediksi ekonomi Asia Timur tumbuh sebesar 3,3 persen tahun ini, dibandingkan dengan 6,5 persen tahun lalu.

Biaya Impor yang mahal dan melemahnya permintaan global untuk ekspor serta perlambatan DI China juga akan menambah tekanan lebih lanjut pada bagian kawasan itu.

" Berfokus hanya pada pendekatan kebijakan moneter, tanpa mengatasi masalah sisi penawaran di pasar perdagangan, energi, dan pangan serta terhadap krisis biaya hidup memang dapat memperburuk situasi," tambah UNCTAD.

Para CEO di AS Mulai Bersiap-siap Hadapi Resesi Ekonomi di Negaranya

Resesi
Ilustrasi Grafik Resesi Credit: pexels.com/Burka

Sejumlah CEO di Amerika Serikat mulai meyakini bahwa ekonomi negara tidak bisa mencapai soft landing menyusul serangkaian kenaikan suku bunga besar oleh Federal Reserve untuk meredam inflasi.

Menurut survei terhadap 400 pemimpin perusahaan besar di AS oleh perusahaan konsultan KPMG, 91 persen memperkirakan resesi di AS bakal terjadi dalam 12 bulan ke depan.

KPMG juga menemukan bahwa hanya 34% persen dari CEO yang disurvei melihat resesi akan berlangsung secara ringan dan singkat.

"Ada ketidakpastian yang luar biasa selama dua setengah tahun terakhir," kata Paul Knopp, ketua dan CEO KPMG, merujuk pada dampak ekonomi imbas pandemi Covid-19 dan kekhawatiran tentang inflasi, dikutip dari CNN Business, Selasa (4/10/2022).

"Sekarang, kita menghadapi resesi lain yang membayangi," ungkapnya. 

KPMG menyebut, lebih dari separuh CEO yang disurveinya sedang mempertimbangkan pemangkasan tenaga kerja untuk bersiap enghadapi resesi. Tetapi nasih ada sedikit tanda harapan.

Meskipun mayoritas CEO berpikir bahwa resesi akan datang, masih banyak eksekutif bisnis percaya bahwa mereka dalam kondisi yang lebih kuat untuk menghadapi guncangan ekonomi yang begitu keras daripada di tahun 2008 silam.

"Ada optimisme untuk jangka panjang tentang ekonomi AS dan prospek untuk organisasi mereka sendiri," sebut Knopp.

"Perusahaan merasa mereka lebih tangguh dan lebih siap (menghadapi resesi)," pungkasnya. 

Tetapi Knopp menambahkan bahwa para CEO juga memperhatikan prospek jangka pendek ekonomi sehingga mereka berniat untuk merubah rencana pengeluaran jangka panjang.

Infografis Sinyal Resesi dan Antisipasi Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)
Infografis Sinyal Resesi dan Antisipasi Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya