Liputan6.com, Jakarta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) siap mendukung gelaran Presidensi G20 Indonesia. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, mengatakan pihaknya ingin memanfaatkan momentum ini untuk menaikkan posisi Indonesia sebagai mitra potensial kolaborasi untuk riset dan inovasi ke depan dengan negara-negara G20.
“Kita ingin memanfaatkan momentum ini untuk menaikkan posisi Indonesia sebagai mitra potensial kolaborasi untuk riset dan inovasi ke depan bagi negara-negara utama G20,” kata Laksana Tri Handoko dalam konferensi pers ‘Digital, Blue and Green Economy’ secara hybrid, Rabu (19/10/2022).
Baca Juga
Dia menegaskan, riset dan inovasi itu secara alami membutuhkan kolaborasi dan kerjasama dengan tidak hanya multipihak tapi juga multi negara.
Advertisement
Sesuai dengan tema BRIN dalam menyambut Presidensi G20 Indonesia “Digital, Blue and Green Economy”. BRIN ingin lebih menjual potensi Indonesia sebagai negara yang besar, populasinya banyak, dan dengan biodiversitas yang besar pula.
“Bahkan kalau digabung dengan di laut tentu itu menjadi modal kita yang besar untuk menjadi pusat kolaborasi riset dan inovasi. Apalagi setelah terbentuknya BRIN, dan akhir tahun kemarin kita sudah menetapkan semua skema supporting system yang complete untuk ekosistem riset dan inovasi kita,” ujarnya.
Selain itu, dengan tersedianya banyak infrastruktur yang dimiliki Pemerintah untuk BRIN, mulai dari armada riset, satelit, pesawat monitoring, reaktor nuklir, semua dalam satu manajemen sehingga BRIN mengaturnya lebih mudah dan efisien.
“Dan kitab isa kembalikan itu menjadi modal awal untuk seluruh komunitas periset di negara kita, dan sekaligus modal awal untuk membuka dan meningkatkan kerjasama kolaborasi riset dan inovasi khususnya dengan negara G20,” ujarnya.
Dia menegaskan, yang akan disorot dari rangkaian pertemuan terkait riset dan inovasi khususnya dalam Presidensi G20 Indonesia saat ini adalah BRIN ingin memanfaatkan momentum Presidensi G20 ini agar bisa berperan lebih aktif di sektor riset dan inovasi.
Negara G20 Sebut Perang Rusia-Ukraina Perparah Krisis Pangan Global
Para Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian Negara Anggota G20 sepakat ancaman krisis pangan sudah terjadi sejak awal 2020 ketika pertama kali Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan pandemi Covid-19 di bulan Maret. Apalagi di saat yang bersamaan ada ancaman perubahan cuaca ekstrem di seluruh dunia.
Ancaman krisis pangan pun terus berlanjut hingga penyebaran virus corona mulai terkendali. Namun kondisinya makin parah ketika Rusia melakukan invasi kepada Ukraina di bulan Februari 2022.
Sebagian besar negara anggota G20 pun meminta Rusia segera mengakhiri perang. Cara ini menjadi salah satu kunci penting mengakhiri ancaman krisis pangan dunia.
"Banyak anggota menyatakan pandangan bahwa perang Rusia melawan Ukraina memperburuk kerawanan pangan global dan menyerukan mengakhiri perang," dikutip dari dokumen Rangkuman Hasil Pertemuan Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian G20 di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (18/10/2022).
Menanggapi itu, satu anggota G20 menilai sanksi sepihak yang diterima Rusia justru yang memicu munculnya krisis pangan. Sebab, pasca invasi di Ukraina sejumlah negara barat menjatuhkan sanksi ke Moskow. Salah satunya sanksi terhadap dunia lembaga keuangan besar Rusia dan utang negara Rusia.
"Satu anggota menyatakan pandangan bahwa sanksi sepihak berdampak negatif terhadap kerawanan pangan global," tulis dokumen tersebut.
Advertisement
Tidak untuk Produk Pangan
Di sisi lain, beberapa negara menilai sanksi yang diberikan ke Rusia tidak menargetkan barang-barang pertanian atau pupuk.
"Beberapa anggota mencatat bahwa sanksi yang terkait dengan perang di Ukraina tidak ditargetkan pada barang-barang pertanian atau pupuk," kata dokumen tersebut.
Meski begitu, mayoritas negara anggota G20 juga mengkhawatirkan kondisi masa depan yang akan jalan ditempat jika perang terus berlanjut. Mereka khawatir akan lebih masyarakat yang rentan menjadi korban dari krisis pangan di seluruh dunia.
Jika krisis pangan tidak segera diatasi, maka angka kemiskinan akan terus meningkat. Upaya mencapai pembangunan berkelanjutan pun akan terkendala.
"Dan (ini akan) menempatkan komunitas dan rumah tangga yang rentan dengan risiko kemiskinan dan kekurangan gizi yang lebih besar," tulisnya.