Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi Amerika Serikat kembali tumbuh setelah dua kuartal berturut-turut mengalami kontraksi. Pertumbuhan ini memunculkan pertanyaan di antara publik Amerika, tentang apakah negara itu telah lolos dari jurang resesi.
Dilansir dari Bloomberg, Jumat (28/10//2022) produk domestik bruto (PDB) AS tumbuh 2,6 persen (year-on-year/yoy) pada Juli hingga September atau kuartal ketiga 2022, menurut perkiraan awal dari Departemen Perdagangan.
Baca Juga
Konsumsi pribadi, yang merupakan bagian terbesar dari ekonomi AS, tumbuh 1,4 persen. Meski lebih baik dari perkiraan, angka ini masih melambat dari kuartal sebelumnya.
Advertisement
Meskipun pertumbuhan ekonomi biasanya merupakan pertanda baik, beberapa pengamat pasar khawatir bahwa penguatan yang berkelanjutan akan mendorong Federal Reserve kembali menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan perlambatan.
Bloomberg menyebut, harga konsumen di AS masih naik, pengeluaran rumah tangga masih berada di bawah tekanan, dan lonjakan tingkat hipotek mulai mendinginkan pasar perumahan.
"Senang melihat angka PDB yang positif, tapi saya rasa situasi kita belum jelas, secara ekonomi," kata Brittany Brinckerhoff, penasihat keuangan di Hilltop Wealth Advisors di North Carolina.
"Dengan inflasi yang masih tinggi, The Fed masih diposisikan untuk terus menaikkan suku bunga dan kemungkinan kita akan melihat pertumbuhan ekonomi terus melambat sebagai efek samping dari itu," bebernya.
Meskipun sebagian besar didefinisikan resesi adalah penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut, yang sudah dihadapi AS awal tahun ini, menurut National Bureau of Economic Research adalah badan, secara teknis bisa menyatakan resesi di negara itu.
Biasanya mereka membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengumumkan kondisi tersebut. "Definisinya subjektif dan tidak ada aturan baku dalam menentukan 'penurunan signifikan'," kata David Huebner, penasihat keuangan di Huebner Financial Planning.
"Penurunan 1,6 persen pada kuartal pertama 2022 diikuti penurunan 0,6 persen pada kuartal kedua bukanlah penurunan yang signifikan, bisa dibilang datar," sebutnya.
AS Diperkirakan Resesi di 2023
Proyeksi model Bloomberg Economics baru-baru ini menunjukkan bahwa resesi AS diperkirakan akan terjadi dalam 12 bulan ke depan, dan pasar juga memperkirakan penurunan.
"Saya pikir resesi masih belum dimulai, tetapi kemungkinan besar resesi akan datang pada 2023," kata Chris Diodato, pendiri WELLth Financial Planning di Palm Beach Gardens, Florida.
Menurut Chris Zaccarelli, kepala investasi di Independent Advisor Alliance, angka PDB yang kuat di kuartal ketiga berarti The Fed mungkin perlu melanjutkan pengetatan suku bunga secara agresif.
"The Fed benar-benar bekerja keras - ekonomi tidak melambat, konsumen masih menghabiskan banyak uang dan inflasi tidak akan turun kembali ke 2 persen dalam waktu dekat," katanya.
Untuk pertemuan pekan depan, bank sentral AS itu diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin. Investor memperkirakan mereka akan naik 50 atau 75 basis poin pada bulan Desember dan kemudian mengakhiri pengetatan pada awal 2023 sekitar 4,9 persen.
Namun, menurut Alina Fisch, pendiri Contessa Capital Advisors di New York, The Fed dapat mengubah arah jika data ekonomi AS tetap kuat.
Advertisement
Mengenal Apa Itu Inverted Yield yang Jadi Indikator Potensi Resesi AS
Sejumlah negara diperkirakan masuk dalam jurang resesi pada 2023. Head of Retail Research CGS CIMB Sekuritas, Fanny Suherman menerangkan, berdasarkan data Bloomberg, kemungkinan resesi di Amerika Serikat (AS) naik menjadi 60 persen.
Sementara kemungkinan resesi di China sebesar 20 persen. Menariknya, meski Indonesia disebut juga akan alami resesi, tetapi kemungkinannya hanya sebesar 5 persen.
"Menariknya, probabilitas Indonesia masuk resesi itu hanya 5 persen. Paling kecil di antara negara Asia Pasifik, AS dan China,” kata Fanny dalam Money Buzz bertajuk 2023: Buckle Up and Enjoy the Ride, Kamis (27/10/2022).
Fanny menyebutkan, salah satu indikator yang sebabkan probabilitas resesi AS tinggi, salah satunya inverted yield. Secara sederhana, Fanny menjelaskan inverted yield merupakan selisih antara imbal hasil (yield) surat utang jangka pendek dan surat utang jangka panjang.
Pada kondisi normal, imbal hasil surat utang jangka panjang akan lebih tinggi dibandingkan surat utang jangka pendek. Namun, hal yang terjadi di AS saat ini adalah sebaliknya, sehingga disebut inverted atau terbalik.
Imbal hasil surat utang janga pandek lebih tinggi dibanding surat utang jangka panjang. “Normalnya yield 10 tahun harus lebih tinggi dibanding yang yield 2 tahun. Sekarang yang terjadi sebaliknya. Artinya investor melihat risiko dalam jangka waktu dekat juga cukup tinggi. Dan by historical, ketika sudah terjadi inverted yield memang ada potensi ke arah resesi," terang Fanny.