Rugikan Industri Rokok, Pemerintah Diminta Kaji Ulang Revisi PP 109/2012

Revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan masuk ke dalam regulasi prioritas yang akan dibahas pada tahun 2023.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 29 Des 2022, 20:33 WIB
Diterbitkan 29 Des 2022, 14:40 WIB
Ilustrasi tembakau
Ilustrasi tembakau. Revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan masuk ke dalam regulasi prioritas yang akan dibahas pada tahun 2023. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Liputan6.com, Jakarta Ekosistem pertembakauan kembali ditekan dengan adanya dorongan revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Revisi aturan tersebut saat ini tengah ramai dibahas karena masuk ke dalam regulasi prioritas yang akan dibahas pada tahun 2023, bersama dengan puluhan regulasi lainnya dalam Keppres Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.

“Ketika sektor lain diberi kemudahan, hal ini tidak terjadi pada ekosistem pertembakauan. Di tengah ancaman stagflasi dan kontraksi ekonomi, kini ada upaya untuk merevisi regulasi PP 109/2012 menjadi sangat eksesif dan tidak implementatif. Inisiasi revisi regulasi oleh Kementerian Kesehatan ini bermaksud mendenormalisasi ekosistem pertembakauan," tegas Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono, Kamis (29/12/2022).

Keberadaan PP 109/2012 saat ini masih mumpuni dan mampu mengatur ekosistem pertembakauan dengan baik. Poin usulan yang didorong oleh Kementerian Kesehatan secara jelas telah tercantum dalam PP 109/2012 itu sendiri. Pasal 23 PP secara tegas menyebutkan pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun.

Kawasan Tanpa Rokok yang termaktub di dalam Pasal 49. Kemudian, pengaturan iklan ruangan yang telah secara rinci diatur dalam Pasal 31. Hingga aturan ketat terkait merek (brand) ataupun aktivitas produk dalam Pasal 37 serta poin terkait sponsorship yang secara jelas diatur dalam pasal 47 di PP 109/2012.

"Seluruh elemen ekosistem pertembakauan telah dan selalu menaati PP 109/2012. Dan, industri hasil tembakau selalu berperan aktif dalam melakukan edukasi dan sosialisasi ke publik mengenai aturan yang ada,"sebut Hananto.

 

 

Prevalensi Perokok

Ilustrasi Tembakau
Ilustrasi Tembakau

Ekosistem tembakau berpandangan bahwa evaluasi secara komprehensif dengan indikator yang akurat harus terlebih dahulu dilakukan sebelum Pemerintah memutuskan akan merevisi sebuah peraturan. Indikator dan justifikasi revisi regulasi yang saat ini tengah didorong oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), menurut Hananto, perlu ditinjau ulang.

Pertama, prevalensi perokok anak digadang- gadang menjadi faktor revisi PP 109/2012 untuk segera dilakukan. Kementerian Kesehatan selalu mengacu kepada data Riskesdas tahun 2018 yang menyebutkan bahwa jumlah prevalensi perokok anak Indonesia berada di angka 9,1 persen.

Kementerian Kesehatan juga menyebutkan bahwa angka prevalensi perokok anak akan terus naik. Hal tersebut sangat kontradiktif dengan data resmi BPS yang menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak di bawah 18 tahun sudah turun selama lima tahun terakhir. Data resmi BPS menunjukkan bahwa prevalensi perokok umur di bawah 18 tahun telah turun menjadi 3,44 persen pada tahun 2022, dari angka 3,69 persenpada tahun 2021.

Metode dan proses survei yang seringkali dijadikan referensi oleh Kementerian Kesehatan juga tidak pernah disampaikan secara transparan.

“Melalui pengamatan yang kami lakukan, Kemenkes kerap menggunakan data yang inkonsisten. Padahal seperti kita ketahui, basis data yang valid dan akurat sangat penting dalam menilai perlu atau tidaknya evaluasi sebuah regulasi. Namun, landasan data yang menjadi acuan Kemenkes berubah-ubah,” Hananto menjelaskan.

 

Layanan Berhenti Merokok

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kedua, Kementerian Kesehatan belum pernah mengomunikasikan kepada publik terkait efektivitas program-program yang dilaksanakan guna menurunkan prevalensi perokok.

“Layanan berhenti merokok yang seharusnya menjadi kunci keberhasilan program untuk menurunkan prevalensi perokok tidak pernah disampaikan capaiannya. Edukasi preventif untuk mencegah anak agar tidak merokok juga tidak pernah terdengar,"tegas Hananto.

Begitu juga dengan berbagai program upaya menurunkan prevalensi perokok dirasa tidak pernah menyentuh masyarakat. Termasuk penerapan Kawasan Tanpa Rokok yang belum pernah ada penilaian valid dan akurat atas capaian nya di setiap kota maupun daerah.

“Hal-hal mengenai ekosistem pertembakauan, semuanya telah secara jelas dan ketat diatur dalam PP 109/2012. Oleh karena itu, desakan Kemenkes untuk mendorong revisi regulasi tersebut sangat tidak berdasar dan hanya digunakan sebagai justifikasi mereka untuk mendorong revisi regulasi” katanya.

 

Keterlibatan Stakeholder Pertembakauan

Gapri 21 Sept 2016
Harga rokok Rp50.000/bungkus dari Hoax jadi wacana pemerintah untuk direalisasikan.

Hananto menekankan bahwa AMTI dan seluruh elemen ekosistem pertembakauan tidak anti-regulasi dan selalu berharap pemangku kepentingan terkait untuk selalu dilibatkan dalam proses perumusan regulasi sehingga sama-sama mampu menjalankan implementasinya dengan baik.

“Sebagai pihak yang terdampak atas keputusan sebuah regulasi, kami menghimbau pemerintah untuk mengedepankan asas keadlian dan keberimbangan. Regulasi harus disusun berdasarkan kesepakatan bersama. Dorongan untuk merevisi sebuah regulasi pun harus memuat aspek harmonisasi agar tidak bertentangan dengan peraturan lainnya. Yang terjadi selama ini di ekosistem pertembakauan, kami hanya sekadar diberi tahu, tidak dilibatkan secara utuh. Termasuk dalam proses dorongan revisi PP 109/2012” katanya.

Hananto berharap pemerintah mengkaji ulang keputusan untuk merevisi PP 109/2012 yang menurutnya masih relevan dan merupakan induk regulasi yang mengatur seluruh siklus ekosistem pertembakauan di Indonesia.

“Pemerintah sebagai regulator harus bersikap adil dan netral. Jangan sampai regulasi yang lahir tidak komprehensif dan berujung pada upaya mematikan ekosistem pertembakauan. Ingat, ada 24 juta penghidupan warga Indonesia yang menggantungkan mata pencahariannya. Termasuk ultramikro UMKM yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia” tambahnya.

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok
Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya