Liputan6.com, Jakarta - Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan peringatan terkait risiko fragmentasi pada ekonomi global. Lembaga keuangan dunia ini, dalam catatan terbarunya mengingatkan bahwa fragmentasi yang parah setelah beberapa dekade peningkatan integrasi ekonomi dapat mengurangi hasil ekonomi global hingga 7 persen.
IMF juga menyebut, kerugian fragmentasi dapat mencapai 8-12 persen di beberapa negara, jika teknologi juga dipisahkan.
Baca Juga
Dikutip dari Channel News Asia, Senin (16/1/2023), Badan itu mengungkapkan, bahkan fragmentasi yang terbatas dapat memangkas 0,2 persen dari PDB global, tetapi diperlukan lebih banyak upaya untuk menilai perkiraan biaya sistem moneter internasional dan jaring pengaman keuangan global (GFSN).
Advertisement
Selain itu, arus barang dan modal global juga telah mendatar setelah krisis keuangan global pada tahun 2008-2009, dan lonjakan pembatasan perdagangan yang terlihat di tahun-tahun berikutnya.
"Pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina semakin menguji hubungan internasional dan meningkatkan skeptisisme tentang manfaat globalisasi," tulis laporan IMF.
IMF melihat bahwa memperdalam hubungan perdagangan telah menghasilkan pengurangan besar dalam kemiskinan global selama bertahun-tahun, sekaligus menguntungkan konsumen berpenghasilan rendah di negara maju melalui harga yang lebih rendah.
"(Pengurangan hubungan perdagangan) akan berdampak paling buruk bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan konsumen yang kurang mampu di ekonomi maju," katanya.
Berkurangnya arus modal juga berisiko mengurangi investasi asing secara langsung, sementara penurunan kerjasama internasional akan menimbulkan risiko terhadap penyediaan barang publik global yang vital.
Pasar Negara Berkembang Cenderung Paling Berisiko
IMF membeberkan, studi yang ada menunjukkan bahwa semakin dalam fragmentasi, semakin dalam biayanya, dengan pemisahan teknologi secara signifikan memperbesar kerugian dari pembatasan perdagangan.
Badan internasional itu mencatat, ekonomi di pasar negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah cenderung paling berisiko karena ekonomi global bergeser lebih banyak ke "regionalisasi keuangan" dan sistem pembayaran global yang terfragmentasi.
"Dengan pembagian risiko internasional yang lebih sedikit, (fragmentasi ekonomi global) dapat menyebabkan volatilitas ekonomi makro yang lebih tinggi, krisis yang lebih parah, dan tekanan yang lebih besar pada penyangga nasional," katanya.
Hal ini juga dapat melemahkan kemampuan komunitas global untuk mendukung negara-negara yang mengalami krisis dan mempersulit penyelesaian krisis utang negara di masa depan, ungkap IMF.
Advertisement
Tak Pangkas Prediksi, IMF Ramal Ekonomi Global Tumbuh 2,7 Persen di 2023
Dana Moneter Internasional (IMF) mengungkapkan kemungkinan tidak menurunkan perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi global sebesar 2,7 persen pada tahun 2023.
Dikutip dari US News, Jumat (13/1/2023) Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan bahwa 2023 akan menjadi "tahun yang sulit" bagi ekonomi global, dan inflasi tetap membandel.
Akan tetapi, dia tidak melihat penurunan ekonomi lainnya seperti yang terlihat tahun lalu, kecuali bila terjadi situasi yang tidak terduga.
"Pertumbuhan terus melambat pada 2023," kata Georgieva kepada wartawan di kantor pusat IMF di Washington.
"Gambaran yang lebih positif adalah ketahanan pasar tenaga kerja. Selama masyarakat bekerja, meskipun harga tinggi, belanja akan tetap terjadi dan itu membantu kinerja," sambungnya.
Dia menambahkan bahwa IMF tidak melihat akan menurunkan proyeksi ekonomi global 2023, meskipun angka finalnya belum ditentukan.
"Itu kabar baiknya," ungkap Georgieva.
Seperti diketahui, IMF pada Oktober 2022 memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi 2,7 persen pada tahun 2023.
Angka itu menandai penurunan dari proyeksi pada 2021 sebesar 6,0 persen dan 3,2 perser pada 2022 lalu.Â
Georgieva juga mengatakan ada banyak harapan pada ekonomi China, yang sebelumnya menyumbang sekitar 35 persen hingga 40 persen dari pertumbuhan global, meski sempat mendapat hasil yang mengecewakan tahun lalu.Â
Tetapi ia meyakini, China akan kembali membantu mendorong pertumbuhan ekonomi global, kemungkinan mulai pertengahan 2023.
Hal itu tentu bergantung pada China yang tidak mengubah arah dan tetap berpegang pada pencabutan kebijakan nol-Covid-19.
"Yang paling penting adalah agar China tetap berada di jalurnya dan tidak mundur dari itu," pungkas Georgieva.
IMF Prediksi AS Bakal Soft Landing
Sementara Amerika Serikat, menurut Georgiva, negara ekonomi terbesar di dunia itu kemungkinan besar akan mengalami soft landing dan hanya akan mengalami resesi ringan, jika memang memasuki resesi teknis.
Tetapi Georgieva mengatakan ketidakpastian besar tetap ada, mengutip risiko peristiwa iklim yang signifikan, serangan siber besar serta risiko eskalasi perang Rusia-Ukraina.
"Kita sekarang berada di dunia yang lebih rentan terhadap guncangan dan kita harus berpikiran terbuka bahwa mungkin ada perubahan risiko yang bahkan tidak kita pikirkan," kata Georgiva.
"Itulah inti dari tahun-tahun terakhir. Hal yang tak terpikirkan telah terjadi dua kali," ujarnya.
Advertisement