Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Namun rencana ini dinilai kurang tepat lantaran alasan terus meningkatnya prevalensi perokok anak untuk mendorong revisi aturan ini juga dinilai tak berdasar.
Baca Juga
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat prevalensi merokok di kalangan anak-anak berusia 18 tahun ke bawah terus merosot dalam lima tahun terakhir.
Advertisement
Pada tahun 2022, terdapat 3,44 persen anak berusia 18 tahun ke bawah yang merokok. Presentase ini turun secara konsisten dibandingkan pada tahun 2018 yang bahkan mencapai 9,65 persen.
Dengan alasan menurunkan prevalensi perokok anak, rencana revisi beleid yang saat ini diprakarsai Kementerian Kesehatan juga berencana untuk melarang penjualan rokok batangan.
Menaggapi hal ini, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), dr. Ali Mahsun menyatakan selama ini para pedagang kecil yang menjual rokok sejatinya tidak menjual rokok kepada anak-anak, baik secara batangan atau bungkusan.
Bahkan, 25 Januari lalu, KERIS bersama 26 kumpulan pelaku ekonomi rakyat dan pedagang mendeklarasikan “Gerakan Nasional Pedagang dan Rakyat Kecil: Rokok Buka Untuk Anak” sebagai pernyataan sikap sekaligus bentuk nyata partisipasi aktif mereka untuk tidak menjual rokok pada anak.
“Kami sepenuhnya mendukung upaya pemerintah menekan prevalensi perokok anak dan remaja. Oleh karenanya, kami mendeklarasikan ‘Gerakan Nasional Pedagang dan Rakyat Kecil: Rokok Bukan Untuk Anak.’ Di mana seluruh pedagang kaki lima, pedagang asonga, pedagang kelontong, dan teman-teman ekonomi rakyat kecil berkomitmen untuk tidak boleh menjual rokok, baik dengan bentuk batangan atau bungkusan, ke anak-anak,” ujar Ali ditulis, Senin (6/2/2023).
Larangan Jual Rokok Batangan
Wacana larangan penjualan rokok batangan memiliki konsekuensi ketidakadilan bagi kondisi ekonomi rakyat kecil. Sebab, banyak pedagang yang bakal terdampak atas kebijakan ini, bahkan berpotensi kehilangan sumber pendapatan. Hal ini dikarenakan banyak pedagang yang memiliki modal kecil dan hanya bisa menjual rokok secara batangan.
“Recana larangan penjualan rokok batangan ini terbit tanpa memikirkan aspek-aspek lainnya. Prevalensi perokok anak dan penjualan rokok batangan tidak memiliki korelasi yang signifikan,” tegas Ali.
Di kesempatan berbeda, pengamat kebijakan, Agustinus Moruk Taek, menjelaskan penyusunan kebijakan di Indonesia selama ini terlalu fokus terhadap fokus hukum dan sering alpa dalam melihat konteks maupun keadilan regulasi.
Hal tersebut membuat suatu regulasi tidak tepat guna, karena tidak mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang seharusnya mendasari suatu kebijakan. Imbasnya, regulasi yang terbit justru menimbulkan ketidakadilan dan masalah baru.
Advertisement
Butuh Riset yang Kuat
Dalam studi yang dilakukannya, Agustinus menyimpulkan rencana revisi PP 109/2012 dilakukan tanpa riset yang kuat. Ia menyebut muatan revisi hanya berisi kausalitas tanpa argumentasi dan dukungan data yang akurat.
“Jadi, apakah PP 109/2012 mendesak untuk direvisi? Jawabannya tidak. Hasil studi memperlihatkan regulasi saat ini masih relevan untuk menekan prevalensi perokok anak,” paparnya.
Alih-alih menjadi solusi, Agustinus menekankan bahwa revisi berpotensi menganggu stabilitas ekonomi dan sosial karena akan menjadi tekanan baru bagi seluruh mata rantai industri tembakau, termasuk para pedagang kecil yang tergolong pelaku UMKM.