Liputan6.com, Jakarta China akan menambah pengeluaran atau anggaran pertahanan sebesar 7,2 persen tahun ini menjadi 1,56 triliun yuan (USD 230 miliar). Ini terkuak dari draf yang dirilis Kementerian Keuangan pada pekan lalu.
Melansir laman CNBC, Senin (6/3/2023), anggaran pertahanan China ini naik 7,1 persen pada tahun lalu menjadi 1,45 triliun yuan, lebih besar dari kenaikan 6,8 persen pada 2021 dan kenaikan 6,6 persenpada 2020. Pada 2019, belanja pertahanan China naik 7,5 persen menjadi 1,19 triliun yuan.
Baca Juga
Namu dalam laporan terpisah dari pemerintah, Perdana Menteri Li Keqiang tidak menyebutkan terkait perang Rusia Ukraina yang sedang berlangsung saat ini.
Advertisement
“Kita harus tetap berkomitmen pada kebijakan perdamaian luar negeri yang independen,” kata laporan itu.
Laporan tersebut juga menyerukan langkah tegas untuk menentang 'kemerdekaan Taiwan, sambil tetap berpegang pada seruan Beijing untuk "reunifikasi damai."
Taiwan adalah pulau dengan pemerintahan sendiri yang diperintah secara demokratis yang diklaim Beijing sebagai bagian dari wilayahnya.
Pemerintah AS pada bulan Desember mengesahkan pengeluaran pertahanan lebih dari USD 800 miliar untuk tahun fiskal yang berakhir pada 30 September 2023.
Selain inflasi domestik, rencana pengeluaran tersebut menunjuk pada kebutuhan untuk melawan kemampuan militer China dan Rusia. Angka itu jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Menurut data Departemen Keuangan terkait anggaran tahun fiskal 2022, AS membelanjakan USD 767 miliar, atau 12 persen dari anggarannya, untuk pertahanan nasional. Angka itu sekitar 2 persen lebih banyak dari USD 755 miliar yang dihabiskan pada tahun 2021.
Raup Cuan dari Perang Rusia-Ukraina, Perusahaan Didesak Donasi ke Negara Miskin
Menteri Luar Negeri Bangladesh AK Abdul Momen mendorong perusahaan-perusahaan yang mendapat keuntungan dari dampak perang Rusia-Ukraina untuk memberi kompensasi kepada negara-negara miskin yang terkena dampak.
Pernyataan itu disampaikan AK Abdul Momen di sela-sela KTT menteri luar negeri G20 di New Delhi.
"Dalam perang ini, beberapa perusahaan menghasilkan laba yang tidak terkendali... perusahaan energi dan perusahaan pertahanan," kata AK Abdul Momen, dikutip dari CNBC International, Jumat (3/3/2023).
"Oleh karena itu, kami akan berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang menghasilkan keuntungan tak terkendali, mereka harus mendedikasikan setidaknya 20 persen dari keuntungannya untuk negara-negara yang paling terpengaruh seperti kami," ujarnya, tanpa menyebut nama perusahaan tertentu.
Komentarnya muncul setelah peringatan satu tahun perang Rusia-Ukraina. Beberapa bulan lalu, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Ukraina telah menyusut sebanyak 35 persen sejak perang pecah pada Februari 2022.
"Tentu saja, kami membeli energi dari luar negeri. Tapi biaya energi melonjak, mengakibatkan inflasi tinggi. Kami berusaha mengendalikan inflasi dengan memberikan subsidi dan itu merugikan pemerintah," ucap Menlu Bangladesh.
"Oleh karena itu, kami ingin akhir perang. Kami percaya pada negosiasi damai," tuturnya.
AK Abdul Momen lebih lanjut menyerukan negara-negara G20 untuk menjadikan kompensasi dari dampak konflik terrsebut sebagai langkah yang wajib.
"Para pemimpin G20, mereka dapat mewajibkan semua perusahaan itu untuk membayar sebagian dari laba mereka yang tidak terkendali ke negara-negara yang paling terkena dampak," tambahnya.
Advertisement
Menlu Bangladesh : Dampak Perang Rusia Ukraina Rugikan Negara Miskin
Selain itu, Menteri luar negeri Bangladesh juga mengatakan bahwa ketahanan pangan menjadi masalah lain yang sedang diperjuangkan, dan perlu ditangani oleh para pemimpin G-20.
Dia juga mengkritik sanksi Barat yang dikenakan pada Rusia, dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut paling merugikan negara-negara berkembang.
"Kami sangat kesal juga karena perang ini…. telah memutus rantai pasokan serta mekanisme transisi keuangan. Dan ini merugikan kita, sangat merugikan negara berkembang yang miskin," tandas AK Abdul Momen.
"Lain kali, ketika mereka datang dengan sanksi dan sanksi balasan, mereka setidaknya harus berkonsultasi dengan orang-orang seperti kita – negara-negara berkembang – untuk mengetahui seberapa besar kerugian yang akan mereka alami. Dan harus menciptakan mekanisme sehingga negara-negara yang akan dirugikan- bahwa mereka harus diberi kompensasi," tambahnya.