11 Bank Raksasa Mau Selamatkan First Republic Bank, Rela Keluarkan Rp 460,2 Triliun

Dana bantuan ini diberikan menyusul kekhawatiran yang terus berlanjut tentang sistem perbankan setelah runtuhnya Silicon Valley Bank dan Signature Bank.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 17 Mar 2023, 11:50 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2023, 11:50 WIB
11 Bank Raksasa Mau Selamatkan First Republic Bank, Rela Keluarkan Rp 460,2 Triliun
11 Bank Raksasa Mau Selamatkan First Republic Bank, Rela Keluarkan Rp 460,2 Triliun

Liputan6.com, Jakarta Bank asal San Fransisco, Amerika Serikat, yakni First Republic Bank menerima bantuan keuangan senilai USD 30 miliar atau sekitar Rp. 460,2 triliun dari 11 bank terbesar di Amerika.

Dana bantuan ini diberikan menyusul kekhawatiran yang terus berlanjut tentang sistem perbankan setelah runtuhnya Silicon Valley Bank dan Signature Bank.

"Dukungan dari sekelompok bank besar ini sangat disambut baik, dan menunjukkan ketahanan sistem perbankan," demikian pernyataan Departemen Keuangan AS menyambut dana bantuan tersebut, dikutip dari CNN Business, Jumat (17/3/2023). 

Bank-bank besar yang ikut berpartisipasi menbantu First Republic Bank termasuk JPMorgan Chase, Bank of America, Wells Fargo, Citigroup dan Truist.

Dana bantuan tersebut akan memungkinan First Republic Bank memenuhi penarikan pelanggan dan menopang kepercayaan pada sistem perbankan AS selama momen yang penuh gejolak bagi pemberi pinjaman di negara itu.

Dalam sebuah pernyataan, First Republic Bank menyampaikan bahwa "(bantuan itu) mencerminkan kepercayaan mereka pada First Republic dan bank dari semua ukuran".

"Bank regional, menengah dan kecil sangat penting untuk kesehatan dan fungsi sistem keuangan kita," tambahnya.

Banyak bank regional di AS, termasuk First Republic, memiliki sejumlah besar simpanan yang tidak diasuransikan. Nilai simpanan tersebut melampaui batas FDIC sebesar USD 250.000.

Meskipun belum mendekati persentase besar simpanan yang tidak diasuransikan, First Republic memiliki 68 persen yang cukup besar dari total simpanan yang tidak diasuransikan, menurut S&P Global.

Hal itu menyebabkan banyak pelanggan berhenti menggunakan jasa bank dan memilih memindahkan uang mereka di tempat lain, menimbulkan masalah bagi First Republic, di mana bank tersebut perlu meminjam uang atau menjual aset untuk membayar simpanan pelanggan secara tunai.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Menkeu AS Janet Yellen Bertemu CEO JPMorgan Jamie Dimon

Menteri Keuangan AS Janet Yellen dalam sesi House Financial Services Committee. (AP)
Menteri Keuangan AS Janet Yellen dalam sesi House Financial Services Committee. (AP)

Sebelum kesepakatan dana bantuan USD 30 miliar dari 11 bank besar, Menteri Keuangan AS Janet Yellen telah bertemu secara pribadi di Washington dengan CEO JPMorgan Jamie Dimon, menurut dua sumber yang mengetahui kabar itu.

Pertemuan tersebut merupakan puncak dari serangkaian percakapan selama dua hari terakhir antara Yellen dan pejabat AS lainnya serta pemimpin dari beberapa bank terbesar di negara itu saat mereka mencari cara memulihkan bank yang dilanda krisis.

Yellen telah mendorong upaya dari pihak pemerintah, sementara Dimon memimpin upaya untuk mengatur para eksekutif bank yang pada akhirnya akan berada di belakang pemasukan simpanan.

Yellen pertama kali memahami gagasan tentang bank-bank AS terbesar yang berkumpul untuk mengarahkan simpanan ke First Republic, menurut sumber terpisah yang mengetahui kabar tersebut.

Langkah itu dipandang penting untuk menstabilkan basis simpanan bank – tetapi juga merupakan sinyal penting bagi pasar keuangan tentang bank dan sistem keuangan AS.


Bos BI Pede Kasus Silicon Valley Bank Tak Bakal Terjadi di Indonesia, Ini Hitungannya

Bank Indonesia (BI) segera meluncurkan Kartu Kredit Pemerintah dalam bentuk fisik demi menambah layanan keuangan.
Gubernur BI Perry Warjiyo. Bank Indonesia (BI) segera meluncurkan Kartu Kredit Pemerintah dalam bentuk fisik demi menambah layanan keuangan.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai, kasus bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) tak akan berdampak ke perbankan Indonesia. Bahkan, kasus tersebut diprediksi tak bakal terjadi terhadap bank dalam negeri.

Satu alasan yang mendasari tak kena dampak adalah bank di Indonesia tidak menaruh modal yang berkaitan dengan SVB. Maka, tak terpengaruh oleh bangkrutnya SVB termasuk 3 bank di Amerika Serikat.

"Bank-bank di indonesia apakah terjadi konsentrasi deposan enggak? Sebagaian besar tidak. Sebagian besar itu tidak, umumnya bahwa konsentrasi deposan misalnya top 10 deposan dibagi DPK rata-rata 10-15 persen ada 1 atau 2 bank yang tak lebih dari 35-40 persen. Sehingga deposit funding itu cukup terdiversifikasi sehingga memperkuat ketahanan funding-nya dari bank," beber Perry dalam Konferensi Pers Hasil RDG Bulanan Bank Indonesia pada Maret 2023, Kamis (16/3/2023).

Kedua, dilihat dari risiko valuasi bank di Indonesia. Perry melihat kalau risiko dampak langsungnya hampir tidak ada, karena tak ada yang menanamkan dana di 3 bank AS yang bangkrut.

Pada konteks yang sama, perbankan di Indonesia cenderung memegang SBN model HTM dan sudah bergeser dari SBN AFS. Perry menilai, ini langkah tepat yang jadi faktor kuatnya perbankan Indonesia.

"Dan yang ketiga bank-bank yang ada negatif valuasi terhadap SBN sudah membentuk CKPN cadangan untuk negatif valuasi dari SBN-nya," kata dia.

Dengan demikian, tingkat Capital Adequo Ratio (CAR) berada di posisi yang tinggi. Artinya, bisa menjadi bantalan yang cukup terhadap risiko kebangkrutan.

"CAR nya kan 25,88 persen, ini sudah masukkan CKPN sehingga keseluruhan menyimpulkan bahwa kodnisi perbankan nndonesia itu bisa bertahan terhadap dampak ini," ungkapnya.

"Stabilitas keuangan Indonesia berdaya tahan menghadapi gejolak global ini termasuk dampak dari 3 bank tadi," tambah Perry Warjiyo.


Waspada

Cek Jadwal Kegiatan Operasional dan Layanan Publik BI Selama Mitigasi COVID-19
Ilustrasi Bank Indonesia.

Kendati begitu, Perry mengungkap kalau Indonesia masih perlu untuk mewaspadai berbagai dampaknya. Bukan dari dampak langsung, dari persepsi global.

"Persepsi itu jadi penting itu muncul persepsi global dan juga dampak persepsi ini kan investor global negatif kembali, kemudian terjadi outflow di Maret ada tekanan nilai tukar rupiah dan ada persepsi muncul," urainya.

"Persepsi ini yang harus kita kelola, cara kelolanya gimana? Yang BI stabilkan nilai tukar rupiah, kita intervensi, kita stabilkan untuk pastikan bahwa ini persepsinya itu baik," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya