20 Maret 1921: Merayakan Hari Lahir Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail

Usmar Ismail memulai debutnya di panggung teater. Setelahnya, ia lebih banyak bergelut di dunia perfilman.

oleh Switzy Sabandar Diperbarui 20 Mar 2025, 22:00 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2025, 22:00 WIB
Ilustrasi Film Indonesia
Ilustrasi Film Indonesia (Jokab Owens/Unsplash).... Selengkapnya

Liputan6.com, Yogyakarta - Pelopor drama modern di Indonesia, Usmar Ismail, lahir pada 20 Maret 1921. Ia juga dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia.

Usmar Ismail memulai debutnya di panggung teater. Setelahnya, ia lebih banyak bergelut di dunia perfilman.

Usmar Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 20 Maret 1921. Bakat sastranya sudah tampak sejak duduk di bangku SMP. Saat itu, ia bersama teman-temannya berencana menyajikan suatu pertunjukan dalam acara perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang.

Sayangnya, acara gagal karena mereka terlambat sampai akibat kelelahan mengayuh perahu. Meski demikian, kawan Usmar Ismail yang bernama Rosihan Anwar mencatat momen tersebut sebagai tanda bahwa Usmar Ismail berbakat menjadi sutradara.

Saat SMA, Usmar banyak terlibat dengan dunia sastra dan memperdalam pengetahuan dramanya. Selain aktif dalam kegiatan drama di sekolah, ia juga mulai mengirimkan karangan-karangannya ke berbagai majalah.

Dari sana, ia mengasah kemampuan menulisnya. Beberapa karyanya adalah Puntung Berasap (kumpulan puisi, 1950), Mutiara dari Nusa Laut (drama, 1943), Mekar Melati (drama, 1945), Sedih dan Gembira (kumpulan drama, 1950), serta Membahas Film (kumpulan esai, 1983).

Memasuki masa berkarier, Usmar Ismail bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya bekerja sama untuk mementaskan drama. Hingga pada 1943, Usmar Ismail bersama kakaknya El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta H.B. Jassin mendirikan kelompok sandiwara bernama Maya.

Mereka mementaskan sandiwara berdasarkan teknik teater Barat yang kemudian dianggap sebagai tonggak lahirnya teater modern di Indonesia. Pasca kemerdekaan, Usmar Ismail masih aktif dalam tulis-menulis, tetapi kali ini ia menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta.

Ia bersama Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi kemudian mendirikan surat kabar bernama Rakyat. Setelahnya, ia ke Yogyakarta dan sempat mendirikan harian Patriot dan bulanan Arena.

Seiring berjalannya waktu, Usmar Ismail kembali memantapkan diri untuk serius dalam perfilman. Sebelumnya, ia pernah menjadi asisten sutradara Anjar Asmara dalam film Gadis Desa (1949).

Usmar Ismail kemudian mulai menyutradarai filmnya sendiri, seperti Harta Karun (1949), Tjitra (1949), Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Djogja (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Krisis (1953), Kafedo (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1955), Pedjuang (1960), dan masih banyak lagi.

Kiprahnya dalam perkembangan dunia perfilman Indonesia membuat dirinya diberi julukan sebagai Bapak Perfilman Indonesia. Bahkan, namanya diabadikan di sebuah gedung perfilman Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di Kuningan, Jakarta.

Penulis: Resla

Promosi 1

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya