Ribuan Buruh Bakal Geruduk MK 5 Juni 2023, Tolak Cipta Kerja hingga RUU Kesehatan

Ribuan buruh berencana untuk menggeruduk kantor Mahkamah Konstitusi pada Senin 5 Juni 2023 mendatang

oleh Arief Rahman H diperbarui 03 Jun 2023, 18:34 WIB
Diterbitkan 03 Jun 2023, 18:12 WIB
Ribuan Buruh Kembali Geruduk DPR
Massa dari elemen Partai Buruh dan KSPI saat menggelar aksi di depan Gedung DPR, Rabu, (15/6/2022). Dalam aksi tersebut mereka menolak revisi UU PPP, menolak Omnibus LawUU Cipta Kerja, menolak masa kampanye 75 hari tetapi harus 9 bulan sesuatu Undang-Undang, sahkan RUU PPRT dan tolak liberalisasi pertanian melalui WTO. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Ribuan buruh berencana untuk menggeruduk kantor Mahkamah Konstitusi pada Senin 5 Juni 2023 mendatang. Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengklaim aksi ini melibatkan ribuan buruh se-Jabodetabek.

“Aksi ini dilakukan bertepatan dengan sidang kedua uji formil judicial review terhadap omnibus law UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023. Jadi isu utama yang akan kami usung adalah Cabut omnibus law UU Cipta Kerja,” ujar Said Iqbal dalam keterangannya, Sabtu (3/6/2023).

Aksi ini akan melibatkan 4 konfederasi dan 60 federasi buruh, termasuk juga serikat petani. Selain menyuarakan Cabut UU Cipta Kerja, dalam aksi 5 Juni para buruh juga akan menyuarakan tolak RUU Kesehatan.

“Terkait dengan penolakan terhadap RUU Kesehatan, beleid ini berpotensi menyebabkan komersialisasi terhadap layanan kesehatan. Di mana RUU ini mengatur mengenai urun biaya. Jadi ada beberapa penyakit yang biayanya tidak sepenuhnya ditanggung BPJS Kesehatan, yang tentunya akan memberatkan pasien. RUU Kesehatan hanya melindungi rumah sakit dan membuka ruang komersialisasi medis,” katanya.

Soal BPJS

Kemudian, hal lain yang dipersoalkan dari RUU Kesehatan adalah menempatkan BPJS di bawah kementerian. Padahal, menurutnya, seharusnya jaminan sosial langsung di bawah presiden.

Alasannya, karena dana BPJS adalah uang buruh dan rakyat, bukan dana APBN yang bisa dikelola kementerian. Isu lainnya adalah mendorong pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

"Seruan ketiga yang diusung dalam aksi ini adalah Cabut Permenaker No 5 Tahun 2023 yang memperbolehkan pengusaha memotong upah hingga 25 persen. Di mana Permenaker ini sudah memakan korban, karena ada pengusaha yang memotong upah buruh sebesar 25 persen," paparnya.

 

Aksi Lanjutan

Buruh Demo Lagi di Depan DPR
Massa buruh menggelar unjuk rasa di depan Kompleks Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (17/11/2020). Buruh kembali menggelar aksi lanjutan menuntut pemerintah dan DPR untuk mencabut Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menurut Said Iqbal, empat isu tadi adalah terkait dengan isu perburuhan. Sedangkan terkait dengan isu politik, yang akan diangkat adalah revisi parliamentary threshold 4 persen dari suara sah nasional harus juga dimaknai 4 persen dari jumlah kursi DPR RI, dan cabut presidential threshold 20 Persen.

“Inilah yang membedakan Partai Buruh dengan partai yang lain. Kami adalah partai yang bekerja harian. Mau ada pemilu atau tidak, Partai Buruh selalu bersama dengan buruh, petani, dan nelayan. Karena itu, isu perburuhan dan isu partai selalu seiring sejalan,” tegasnya.

Setelah aksi 5 Juni, Partai Buruh mengorganisir aksi bergelombang di berbagai provinsi. Misalnya, 6 Juni aksi di Kantor Gubernur Banten, 7 Juni di Kantor Gubernur Jawa Tengah, 14 Juni di Kantor Gubernur Jawa Timur.

Seterusnya, aksi akan dilakukan di Medan – Sumatera Utara, Banda Aceh - Aceh, Batam – Kepulauan Riau, Bengkulu, Pekanbaru, Bandar Lampung, Samaranida – Kalimantan Timur, Banjarmasin – Kalimantan Selatan, dan Pontianak – Kalimantan Barat.

Aksi juga akan dilakukan di Makassar – Sulawesi Selatan, Morowali – Sulawesi Tengah, Konawe – Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo. Bergeser di Indonesia Timur, aksi di Jayapura, Manokwari di Papua Barat, dan Sorong di Papua Barat Daya, termasuk di Mataran - NTM.

“Aksi bergelombang akan dimulai tanggal 5 Juni hingga 20 Juli 2023,” tegasnya.

 

Tolak RUU Kesehatan

Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengancam kelompok buruh akan mogok kerja jika Undang-Undang atau UU Cipta Kerja tidak dicabut.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengancam kelompok buruh akan mogok kerja jika Undang-Undang atau UU Cipta Kerja tidak dicabut.

Diberitakan sebelumnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang digulirkan pemerintah mendapatkan banyak tentangan dari berbagai pihak. Salah satu yang menentang RUU tersebut secara lantang adalah serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KPSI).

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyebut bahwa akan ada aksi unjuk rasa yang dilakukan para buruh di 38 provinsi seluruh Indonesia dan dimulai pada 31 Mei 2023.

"Saya akan keliling di seluruh daerah. Kita persiapkan aksi besar-besaran dan kita akan minta setiap gubernur memberikan rekomendasi untuk menolak RUU Kesehatan," sebutnya saat ditemui awak media pada acara Seminar Kesehatan Nasional, Kamis (25/05/2023).

Said Iqbal juga menyoroti pasal 425 draf RUU Kesehatan yang menyatakan bahwa BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan.

"BPJS ini harus diselamatkan, RUU ini menjadikan BPJS akan di bawah menteri, enak saja menteri ngatur-ngatur, lah uang-uang kita!" katanya.

 

Tak Dibawah Presiden

KSPI
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal, menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja melegalkan kembali perbudakan modern bagi pekerja/buruh.

Said Iqbal menjelaskan bahwa BPJS merupakan lembaga wali amanah yang secara kelembagaan tidak berada di bawah presiden dan menteri kesehatan.

"BPJS adalah badan yang dibentuk oleh perintah konstitusi. BPJS itu 1 persennya dibayar buruh, 4 persennya dibayar pengusaha, bahkan dana PBI sampai Rp48 trilliun, Tidak bisa menteri kelola dana kita," jelasnya.

Presiden Partai Buruh ini juga mengungkapkan bahwa dalam BPJS terdapat prinsip kontingensi. Prinsip tersebut mengungkapkan jika terjadi sesuatu kekurangan anggaran pada BPJS, maka Presiden yang memutuskan kekurangan anggaran tersebut dan selaku kepala negara memiliki kewenangan mengambil alih ketika darurat.

"Kalau BPJS di bawah menteri, nanti menteri lapor dulu, diskusi dulu, birokrasi panjang," ungkapnya.

"Saya bersikap mewakili kawan-kawan buruh, kita akan jaga dan tidak bisa menteri memegang lembaga BPJS. Apalagi saat ini Dewan Pengawas (Dewas) dari unsur buruh juga dikurangi, malah ditambah dari unsur pemerintah," imbuh Said Iqbal.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya