Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah membidik produksi dalam lapangan minyak bumi di dalam negeri mampu mencapai 1 juta barel per hari di 2023 mendatang. Sejumlah upaya dilakukan pemerintah, termasuk bentuk kontrak yang dijalankan.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mencatat, target lifting minyak bumi pada Asumsi Makro RAPBN 2024 ditetapkan 597-652 ribu BOPD. Terdapat defisit sekitar 348-403 dari target produksi 1 juta BOPD pada 2030.
Baca Juga
"Diperlukan kerja keras untuk dapat mencapai target lifting minyak bumi 2030 yang ditetapkan sebesar 1 juta BOPD. Pencapaian target menghadapi kendala penurunan produksi alamiah dan penambahan cadangan migas yang memerlukan effort yang tidak sederhana," ujarnya dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Senin (12/6/2023).
Advertisement
Komaidi mengatakan, dari sisi kontrak, pemerintah telah mengubah jenis kontrak dengan klaim yang lebih memudahkan kerja sama. Yakni, menerapkan kontrak bagi hasil (KBH) New Simplified Gross Split untuk menyederhanakan KBH Gross Split yang ada.
Atas tinjauan yang dilakukan, penyederhanaan dan perbaikan pada New Simplified Gross Split diantaranya meliputi:
- Penyederhanaan jumlah komponen variabel dari 10 komponen menjadi 3
- Penyederhanaan jumlah komponen progresif dari 3 komponen menjadi 2
- Base split minyak bumi diubah menjadi 53 persen untuk pemerintah dan 47 persen untuk KKKS. Sementara base split untuk gas bumi ditetapkan sebesar 51 persen untuk pemerintah dan 49 persen untuk KKKS
- Penilaian parameter variabel dan progresif didasarkan pada kondisi aktual setelah terdapat produksi komersial.
"Dengan perbaikan tersebut, New Simplified Gross Split berpotensi dapat membuat KBH Gross Split menjadi lebih menarik dibandingkan KBH Gross Split sebelumnya," ujarnya.
Kendati ada perubahan porsi bagi hasil yang dinilai bisa menarik minat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), tapi Komaidi melihat perlu ada upaya yang lebih fleksibel. Misalnya, mengenai penerapan jenis kontrak dan pembagian risiko.
Â
Berbagi Risiko
Komaidi menyoroti soal pembagian beban risiko investasi dari kedua jenis kontrak ini. Aspek risiko investasi menurutnya perlu jadi perhatian tersendoro kedepannya.
"Meskipun telah terdapat perbaikan signifikan, satu aspek fundamental yang relatif tetap dan tidak dapat diubah serta berbeda secara prinsipil dengan KBH Cost Recovery adalah bahwa dalam KBH New Simplified Gross Split risiko investasi sepenuhnya tetap ditanggung KKKS. Sementara dalam KBH Cost Recovery, risiko investasi secara relatif ditanggung bersama antara KKKS dengan negara," bebernya.
"Terkait pencapaian target produksi minyak bumi 1 juta BOPD yang lebih diperlukan adalah adanya fleksibilitas untuk dapat berubah dari satu jenis kontrak ke jenis lainnya dan fleksibilitas dalam hal kemudahan untuk mengubah besaran komponen-komponen fiskal di dalam kontrak yang ada dari waktu ke waktu," sambung Komaidi.
Â
Advertisement
Butuh Insentif Lapangan Migas Tua
Mengingat lagi, sejumlah lapangan migas di Indonesia yang dalam keadaan mature atau cukup tua. Sehingga tak bisa dihindari adanya pelemahan secara alamiah.
Sebut saja diantaranya, WK Mahakam, Rokan, Corridor, East Kalimantan, Offshore South East Sumatera (OSES), North West Java (ONWJ), hingga Blok Cepu yang menurut Komaidi pada dasarnya memerlukan insentif dalam bentuk kemudahan fleksibilitas tersebut.
"Untuk menaikkan atau sekadar menjaga tingkat produksi pada WK mature tersebut memerlukan upaya seperti pengembangan lapangan ataupun Enhanced Oil Recovery (EOR) yang secara teknis tetap memiliki risiko cukup tinggi. Terkait hal tersebut, sharing risiko, sebagaimana hal itu diakomodir di dalam KBH Cost Recovery menjadi tetap relevan dan diperlukan," tegasnya.
Â
SKK Migas Putar Otak
Diberitakan sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menggelar rapat kerja produksi, metering dan pemeliharaan fasilitas 2023 di Surabaya. Acara yang digelar SKK Migas ini berlangsung selama tiga hari dari tanggal 28 Mei hingga 31 Mei 2023 dengan mengusung tema Boosting Current Production To Get Optimum Oil and Gas Baseline to Support Path Toward Vision of 1 MMBOPD and 12 BSCFD in 2030.
Kegiatan yang juga diikuti Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), teknologi provider dan stakeholder terkait lainnya ini mencari carfa agar bisa bersinergi dan kolaborasi yang lebih kuat untuk mencapai target produksi.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, Rapat Kerja Produksi, Metering, dan Pemeliharaan Fasilitas Tahun 2023 ini merupakan salah satu upaya dari SKK Migas untuk merumuskan langkah-langkah dan strategi dalam rangka mencapai target produksi jangka pendek 2023.
"Acara ini juga sekaligus mewujudkan visi jangka panjang 2030 yaitu produksi minyak 1 juta barel per hari (BOPD) dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD)", kata Dwi Soetjipto dalam keterangan tertulis, Senin (29/5/2023).
Dwi menyampaikan bahwa angka-angka capaian tersebut di satu sisi patut disyukuri karena artinya kinerja produksi dan lifting kuartal 1 tahun 2023 ini telah membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, SKK Migas dan KKKS mesti menyadari bahwa realisasi tersebut masih berada di bawah target.
"Kondisi ini menuntut kita untuk terus mencari upaya untuk mengatasi kendala produksi, meningkatkan produksi dari lapangan migas aktif, mengaktifkan lapangan migas idle serta melakukan percepatan produksi dari sumur atau lapangan baru. Upaya tersebut tentunya memerlukan produk dan teknologi yang tepat", imbuh Dwi.
Dwi mengingatkan bahwa menyelesaikan berbagai tantangan di industri hulu migas membutuhkan koordinasi, kolaborasi dan sinergi semua pihak untuk mencapai target. Melalui rapat kerja ini, SKK Migas berharap terjadi sinergi dan kolaborasi antar para pihak dalam upaya peningkatan produksi dan lifting migas nasional.
"Komitmen investasi hulu migas tahun 2023 yang mencapai USD 15,3 miliar harus dapat diserap seluruhnya. Momentum yang baik di kuartal I 2023 harus menjadi pendorong untuk implementasi program yang lebih masif dan agresif di kuartal II 2023 hingga akhir tahun nanti", ujar Dwi.
Advertisement