1 Juli Peringati Hari Bhayangkara, Simak Sejarah Lahirnya Kepolisian Indonesia hingga Tema HUT ke-77

Setiap 1 Juli juga diperingati sebagai Hari Bhayangkara. Hari ini sebagai lahirnya kepolisian Republik Indonesia. Simak sejarah singkatnya.

oleh Agustina Melani diperbarui 01 Jul 2023, 11:11 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2023, 11:11 WIB
1 Juli Peringati Hari Bhayangkara, Simak Sejarah Lahirnya Kepolisian Indonesia dan Tema HUT ke-77
Setiap 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara. Hari Bhayangkara ini juga dikenal sebagai hari lahirnya Kepolisian Nasional Indonesia. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Setiap 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara. Hari Bhayangkara ini juga dikenal sebagai hari lahirnya Kepolisian Nasional Indonesia.

Pada Sabtu, 1 Juli 2023 bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun Kepolisian Republik Indonesia ke-77.  Kali ini perayaan ulang tahun Kepolisian Republik Indonesia mengangkat tema Polri Presisi untuk Negeri, Pemilu Damai Menuju Indonesia Emas.

Adapun lahirnya Hari Bhayangkara ini tak lepas dari penetapan pemerintah tahun 1946 Nomor 11/S.D Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Pada 1 Juli ini yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini. Sebutan Bhayangkara ini seiring Patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara bertugas melindungi raja dan kerajaan.

Pada peringatan HUT Bhayangkara ke-77 ini, Liputan6.com mengulas singkat sejarah Kepolisian Indonesa yang dikutip dari laman Polri.go.id, ditulis Sabtu (1/7/2023):

Sebelum Kemerdekaan Indonesia

Zaman Kerajaan

Pada zaman Kerajaan Majapahit Patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan.

Masa Kolonial Belanda

Pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada masa kolonial Belanda.

Pada 1867, sejumlah warga Eropa di Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka.

Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur general (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda memiliki bermacam-macam bentuk kepolisian antara lain veld politie atau polisi lapangan, stand politie atau polisi kota, cultur politie atau polisi pertanian, bestuurs politie atau polisi pamong praja dan lain-lain.

Seiring dengan administrasi negara pada waktu itu, pada kepolisian juga diimplementasikan pembedaan jabatan bagi Bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent atau bintara, inspektur van politie, dan commisaris van politie.

Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana dan wedana polisi. Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara 1897-1920 sebagai cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.

 

Masa Pendudukan Jepang

Ilustrasi Polisi Polri. (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)
Gedung Mabes Polri. (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

Jepang membagi wilayah kepolisian Indonesia yang menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.

Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh Pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.

Awal Kemerdekaan Indonesia

Periode 1945-1950

Pemerintah Jepang membubarkan PETA dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Secara resmi, kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.

Inspektur Kelas (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya pada 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotic seluruh rakyat dan satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang.

Sebelumnya pada 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada 29 September 1945, Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).

Pada awalnya kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.

Kemudian mulai 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 11/S.D Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Pada 1 Juli ini yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga kini.

Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan, Polri juga ikut bertempur di seluruh Indonesia selain penegak hukum. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa.

Polisi istimewa digantikan menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun.

Pada masa kabinet prediential, pada 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah Nomor 1/1948 yang menetapkan Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.

 

Menata Organisasi Kepolisian

Amankan Sidang Putusan Sengketa Golkar, Polisi Siagakan Ratusan Personel
Ilustrasi. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian di seluruh Indonesia. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin oleh KBP Umar Said pada 22 Desember 1948.

Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), R.S Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R.Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.

Dengan Keppres RIS Nomor 22 tahun 1950 dinyatakan Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri. Umur RIS hanya beberapa bulan.

Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada 17 Agustus 1950, pada 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS Nomor 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Pada peleburan itu disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian dan administrative, organisatoris.

Periode 1950-1959

Ilustrasi Polri Polisi (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)
Gedung Mabes Polri. (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

Kepala Kepolisian tetap dijabat R.S Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri dan presiden dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUSD 1950.

Ketika kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van De Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri.

Selanjutnya R.S Soekanto berencana membuat kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian hingga kini.

Saat itu menjadi Gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.

Hingga periode ini, kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang hingga kini dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi.

Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini tidak ikut dalam Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di konstituante dan parlemen.

Saat itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, tetapi P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibandingkan gaji pegawai negeri lainnya dan mengacu standar PBB.

 

 

Masa Orde Lama

Ilustrasi Kantor Bareskrim Polri. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)
Ilustrasi Kantor Bareskrim Polri. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Jabatan Perdana Menteri Alm.Ir Juanda diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama hingga keluarnya Keppres Nomor 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.

Pada 13 Juli 1959 dengan Keppres Nomor 154/1959, Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama Nomor 1/MP/RI1959 ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menajdi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian. Istilah ini sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara.

Saat Presiden Soekarno menyatakan akan membentu ABRI yang terdiri dari angkatan perang dan angkatan kepolisian, R.S Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian.

R.S Soekanto Mengundurkan Diri

Pada 15 Desember 1959, R.S Soekanto mengundurkan diri usai menjabat kapolri/menteri muda kepolisian sehingga berakhir karier bapak kepolisian RI itu sejak 29 September 1945-15 Desember 1959.

Dengan Tap MPRS Nomor II dan III tahun 1960 dinyatakan ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres Nomor 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan kemudian disebut Menteri Kepolisian Negara bersama angkatan perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.

Pada 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok Kepolisian Nomor 13/1961. Pada Undang-Undang (UU) ini dinyatakan kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL dan AU.

Melalui Keppres Nomor 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD. Menteri/KASAL. Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh wakil menteri pertama bidang pertahanan keamanan.

 

Masa Orde Baru

Dengan Keppres Nomor 134/1962 menteri diganti menjadi menteri/kepala staf angkatan kepolisian (Menkasak).

Selanjutnya sebutan Menkasak diganti menjadi menteri/panglima angkatan kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Melalui Keppres Nomor 290/1964 kedudukan, tugas dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:

Alat negara penegak hukum

Koordinator Polsus

Ikut serta dalam pertahanan

Pembinaan Kamtibmas

Kerkaryaan

Sebagai alat revolusi

Berdasarkan Keppres Nomor 155/1965 pada 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi angkatan perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sedangkan pada 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno dan PKI mulai menyusupi mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.

Masa Orde Baru

Pada 1969 dengan Keppres Nomor 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU Nomor 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian RI. Akan tetapi, singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada 1 Juli 1969.

Infografis Polisi Dilarang Pamer Kemewahan
Infografis Polisi Dilarang Pamer Kemewahan. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya