Pemerintah Godok Aturan Harga Rusun Subsidi, Bakal Lebih Murah?

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah menggodok batasan harga dan ukuran rumah susun (rusun) bersubsidi

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 23 Jul 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2023, 18:00 WIB
Kementerian PUPR telah membangun 11.719 unit rumah susun (rusun) pada periode 2020-2024. Rusun tersebut untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pekerja, PNS, TNI/Polri, hingga peserta didik perguruan finggi dan LPKB. (Dok Kementerian PUPR)
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah menggodok batasan harga dan ukuran rumah susun (rusun) bersubsidi. (Dok Kementerian PUPR)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah menggodok batasan harga dan ukuran rumah susun (rusun) bersubsidi. Aturan ini tengah dibahas bersama dengan Kementerian Keuangan.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna menjelaskan aturan baru ini nantinya akan mencakup soal harga acuan hunian vertikal bersubsidi. Saat ini, baru rumah tapak saja yang diatur melalui Keputusan Menteri (Kepmen) PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023.

"Kalau (aturan) sebelumnya mencampur (harga acuan) rumah tapak dan susun. Ini baru (aturan) yang rumah tapak. Jadi jangan 'kok rumah susun enggak?', itu masih dalam proses," kata dia di kantornya, ditulis Minggu (22/7/2023).

Herry menjelaskan tidak ada perbedaan signifikan dari aturan harga rusun subsidi nantinya. Hanya saja, akan ada acuan harga yang disesuaikan berdasarkan wilayahnya.

"Masih dalam pembahasan dengan Kementerian Keuangan. Semoga nanti bisa segera terbit, sehingga kita dorong, selain rumah landed tetapi juga rumah vertikal di perkotaan," jelasnya.

Herry menemukan saat ini masih banyak masyarakat yang belum mampu mengakses rusun bersubsidi. Pasalnya, harga yang dipatok bisa mencapai 2 kali lipat lebih mahal dari rumah tapak.

"Karena tadi, kemampuan mencicilnya hunian di perkotaan yang tadinya bisa mencicil landed, ketika rumahnya vertikal enggak bisa milih dia, karena harganya dua kali lipat," terangnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Skema Sewa Beli

Rumah Susun (Rusun) Wisma Atlet Si Jalak Harupat sebagai tempat isolasi terpusat (isoter) pasien terpapar Covid-19 di Bandung
Rumah Susun (Rusun) Wisma Atlet Si Jalak Harupat sebagai tempat isolasi terpusat (isoter) pasien terpapar Covid-19 di Bandung (dok: PUPR)

Pemerintah tak patah arang. Guna menggenjot makin banyak masyarakat berminat untuk membeli unit rumah vertikal, diterapkanlah skema sewa-beli atau Staircasing Shared Ownership (SSO).

Melalui skema ini masyarakat berpenghasilan rendah bisa memiliki rumah yang diawali dengan sewa. Artinya, ada biaya cicilan yang dinilai lebih terjangkau.

"Untuk bisa diterapkan, staircasing itu, satu, butuh rumahnya, kedua, butuh aturan bebas pajaknya yang tadi lagi dibuat. Karena hari ini harga rumah vertikal itu di atas Rp 250 juta. Sementara aturan yang lama cuma Rp 150 jutaan, jadi makin lama makin nambah lagi nantinya (harga)," ungkap Herry.

 


Kejar Target Kurangi Backlog

pasca pandemi Covid-19, pembelian rumah subsidi di proyek properti Puri Harmoni Cisoka 3 Harun, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang. (Paramita/Liputan6.com)
pasca pandemi Covid-19, pembelian rumah subsidi di proyek properti Puri Harmoni Cisoka 3 Harun, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang. (Paramita/Liputan6.com)

Diberitakan sebelumnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat ada 12,7 juta orang di Indonesia yang tak memiliki rumah per 2021 lalu. Angka backlog ini dinilai perlu dikejar seiring dengan cita-cita Indonesia menjadi negara maju.

Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna menjelaskan ada tantangan penyediaan rumah mengingat adanya tambahan keluarga baru setiap tahun. Dia mencatat ada 740 ribu orang tiap tahun yang diprediksi tak memiliki rumah.

"Lalu bagaimana kalau kita mau 2045 habis (angka backlog)? tentu mau gak mau jumlahnya harus kita tingkatkan. itungan kasarnya itu (bangun rumah) 1,5 juta setiap tahun," katanya di Kementerian PUPR, Jumat (21/7/2023).

 


Cari Pendanaan

Pangsa Pasar KPR Subsidi BTN Melejit
Suasana proyek pembangunan perumahan subsidi BTN di Kawasan Bogor, Jawa Barat, Jumat (18/2/2022). PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) memacu penyaluran Kredit Pembiayaan Rumah Sejahtera Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR Sejahtera FLPP). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dengan alokasi sebanyak itu, tentunya perlu ada tambahan alokasi pendanaan. Herry berujar, saat ini pemerintah tengah memutar otak untuk mencari opsi pendanaan lainnya guna memenuhi kebutuhan tersebut.

"Kalau 1,5 juta berapa yang harus kita sediakan? Makanya yang dipikirkan oleh teman-teman ini bagaimana penyediaan rumah ini tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah. Bagaimana kita mendorong swasta dan pihak-pihak lain bisa ikut serta, bareng-bareng," tuturnya.

Herry mencatat, pada program Kementerian PUPR saat ini mengejar untuk membangun sekitar 220 ribu rumah setiap tahun yang akan disalurkan pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Termasuk pada kelompok masyarakat yang tak memiliki rumah tadi.

"Jadi tambahannya (orang yang punya rumah tiap tahun) aja 740.000 dan yang disediakan 220.000, jadi untuk mengisi tambahannya aja sulit, setiap tahun terjadi gap terus tuh nambah terhadap backlog-nya," ungkapnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya