Liputan6.com, Jakarta - Indonesia bersiap menghadapi program transisi energi lewat penerapan teknologi penangkapan, utilisasi dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS) di sektor industri hulu minyak dan gas bumi (migas).
Namun, Indonesia bakal bersaing dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Australia yang juga berupaya menerapkan teknologi CCS/CCUS untuk menyimpan CO2 hasil kegiatan industri hulu migas.
Baca Juga
Senior Consultant Wood Mackenzie Joshua Ngu menilai, Pemerintah RI perlu membuat strategi untuk bisa menarik investasi terkait hal tersebut. Terlebih Malaysia dan Australia tengah giat untuk mengimplementasikan teknologi CCS/CCUS.
Advertisement
"Di Malaysia kita lihat peluang yang sama. Australia juga berupaya melakukan CCS/CCUS untuk menyimpan CO2," ujar Joshua dalam acara IPA Convex 2023 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Rabu (26/7/2023).
"Kita tidak bisa mengatakan tidak peduli yang dilakukan negara lain. Sekali lagi, itu adalah satu bisnis global dimana kita perlu sadari, dan kita harus kompetitif dengan negara lain," tegasnya.
Terpenting, Joshua menekankan, Indonesia juga wajib menyiapkan kerangka hukum untuk mengatur sektor industri hulu migas dalam penerapan teknologi CCS/CCUS.
Â
"Kita butuh regulasi untuk aturan main. Tapi yang lebih penting, kita butuh aturan untuk menjaga kepentingan Indonesia, memastikan bahwa kepentingan Indonesia terlindungi," sebutnya.
Di sisi lain, ia menilai kesiapan industri hulu migas di Tanah Air sebenarnya sudah cukup oke dalam penerapan teknologi tersebut. Khususnya soal pemahaman mengenai permukaan geologi dan bagaimana memproses gas pembuangan.
"Kita bicara mengenai rantai pasok, supplier, teknologi yang sudah siap dan bisa dijalankan, dan dapat diakses untuk pengembangan industri ini. Kalau kita gabungkan ini semua, kita benar-benar punya rumus untuk bersaing di transisi energi," tuturnya.
Luhut: Indonesia Terapkan Bursa Karbon pada September 2023
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap rencana Indonesia menerapkan bursa karbon atau carbon exchange. Rencananya, perdagangan karbon itu akan dimulai pada September 2023 mendatang.
Menurut Menko Luhut, langkah itu jadi upaya untuk menekan emisi karbon di Indonesia dan dunia. Ini juga sejalan dengan upaya penerapan energi bersih di Tanah Air.
"Kami berencana untuk meluncurkan pertukaran karbon pada bulan September 2023, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan mencapai emisi net-zero pada tahun 2060," ujarnya dalam Penandatanganan Implementing Arrangement (IA) UK PACT Carbon Pricing, di Menara Danareksa, Jakarta, Senin (24/7/2023).
"Dan Indonesia sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara ingin memangkas emisinya hingga lebih dari 30 persen pada tahun 2030," sambung dia.
Advertisement
OJK Turun Tangan
Pada pelaksanaan nantinya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan ikut turun tangan melakukan pengawasan. Kemudian, pihak-pihak yang bisa terlibat dalam perdagangan karbon pun akan dibatasi.
"Hanya entitas yang beroperasi di Indonesia yang diizinkan untuk berdagang di bursa dan skemanya akan mirip dengan perdagangan saham dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengawasi kegiatan di bursa karbon," jelasnya.
Kendati akan melangsungkan perdagangan karbon dalam waktu dekat, Menko Luhut tak berbicara banyak mengenai harga karbon. Dia mengatakan, penentuannya masih digodok oleh timnya.
"Ini sedang dibentuk ini, saya kira tanya ke pak Edo (Penasehat Menteri Bidang Carbon Trading Edo Mahendra) kita mulai bentuk itu sekarang," kata Luhut usai penandatanganan.