Liputan6.com, Jakarta Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva akan mengunjungi sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia.
Melansir Channel News Asia, Selasa (29/8/2023) juru bicara IMF mengungkapkan bahwa Georgiva akan memulai perjalanannya di Asia mulai dari China pada Rabu besok, 30 Agustus untuk bertemu dengan para pemimpin tertinggi, sebelum melakukan perjalanan ke Indonesia dan India untuk menghadiri KTT ASEAN dan G20.
Baca Juga
"Selama 30 Agustus hingga 3 September, Direktur Pelaksana akan mengunjungi Tiongkok untuk terlibat dalam diskusi bilateral dengan tim kepemimpinan senior Tiongkok," ungkap jubir IMF.
Advertisement
Setelah kunjungan ke China, Georgieva kemudian akan melakukan perjalanan ke Jakarta untuk berpartisipasi dalam pertemuan puncak para pemimpin negara kelompok Asia Tenggara (ASEAN) sebelum menghadiri pertemuan kepala negara dan pemerintahan G20 di New Delhi, India.
Georgieva akan berada di Jakarta mulai 4 September hingga 7 September mendatang dan New Delhi mulai 8 September hingga 10 September, tambah juru bicara itu.
Bulan lalu, IMF sedikit menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun 2023, mengingat aktivitas ekonomi yang kuat pada kuartal pertama.
Namun badan pemberi pinjaman internasional itu juga memperingatkan bahwa tantangan yang terus-menerus membatasi prospek jangka menengah.
IMF memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto riil global akan tumbuh 3 persen di 2023, naik 0,2 persen poin dari perkiraan bulan April, namun proyeksinya untuk tahun 2024 tidak berubah di kisaran 3 persen.
IMFtidak merevisi proyeksinya pada China, memperkirakan negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu akan tumbuh sebesar 5,2 persen tahun ini, naik dari 3 persen pada tahun 2022, sebelum turun menjadi 4,5 persen pada tahun 2024.
Â
IMF: Inflasi dan Utang Masih Menjadi Tantangan Ekonomi Global
Dana Moneter Internasional (IMF) menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global di 2023 dari 2,8 persen menjadi 3 persen.
Prospek ekonomi dunia IMF untuk tahun depan tidak berubah, tetapi organisasi tersebut memperingatkan bahwa masih banyak tantangan yang membayangi perekomonian dunia, terutama inflasi dan utang.
Kepala divisi Studi Ekonomi Dunia di Departemen Riset IMF, Daniel Leigh mengungkapkan bahwa telah terjadi pertumbuhan yang "berbeda" antara ekonomi maju dan berkembang.
"Ekonomi maju adalah yang memimpin perlambatan. 93 persen negara maju pertumbuhannya lebih lambat tahun ini dibandingkan tahun depan," kata Daniel Leigh, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (28/7/2023).
"Kami mengalami penurunan pertumbuhan dari 2,7 menjadi 1,5 persen untuk ekonomi maju. Beberapa di antaranya, seperti Jerman, malah mengalami pertumbuhan negatif," bebernya.
Sebaliknya, pasar negara berkembang memiliki pertumbuhan yang lebih stabil yang diperkirakan akan menembus 4 persen tahun depan.
Advertisement
Inflasi Global
Sementara inflasi global, turun lebih cepat dari yang diperkirakan, dari 8,7 persen pada 2022 menjadi 6,8 persen tahun ini.
IMF telah merevisi proyeksi inflasinya sedikit menurun untuk memperhitungkan China, yang merupakan seperlima dari ekonomi dunia, dan yang tingkat inflasinya di bawah target, ungkap Leigh.
Ia menambahkan, penurunan inflasi akan berlanjut pada tahun depan, namun baru mendekati level target pada tahun 2025 atau 2026.
"Ada beberapa kasus dalam sejarah di mana bank sentral memberhentikan pertarungan terlalu cepat, hanya untuk melihat ekspektasi semacam normalisasi di atas level target, dan kemudian jauh lebih sulit untuk melawannya nanti," jelasnya.
"Inflasi bisa lebih berat dari yang diharapkan, dan kemudian kita harus memiliki tingkat pengetatan, pendinginan pasar perumahan dan pertumbuhan yang melambat, bahkan lebih dari yang kita harapkan," imbuh Leigh.
Beban Utang
Leigh juga menyoroti bagiaman utang di berbagai negara menjadi sumber perhatian, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah.
"Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dan suku bunga yang lebih tinggi berarti bahwa beberapa dari mereka – sebenarnya lebih dari setengah – hampir gagal bayar atau sudah dalam krisis utang," ungkapnya.
Leigh mengatakan bahwa di Asia, utang dan leverage perusahaan sudah meningkat sebelum pandemi.
"Tetapi sekarang dengan pertumbuhan yang lebih lambat dan tingkat yang lebih tinggi, hal itu menjadi semakin terkonsentrasi di sektor-sektor di mana perusahaan (memiliki) risiko kebangkrutan yang tinggi. Jadi ini merupakan kerentanan," kata Leigh.
Sektor perbankan di Asia dikapitalisasi dengan baik, jadi jika mereka mengambil kerugian dari perusahaan-perusahaan ini yang berpotensi gagal bayar, mereka seharusnya dapat menyerapnya, kata Leigh. Namun, pengawas keuangan tetap harus waspada.
Advertisement