Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi global menghadapi banyak tantangan dari kebijakan suku bunga The Fed, kenaikan harga minyak dunia, dan efek perang Rusia dan Ukraina. Bagaimana pengaruhnya ke Indonesia?
Peneliti INDEF Abdul Manap Pulungan mengatakan, gejolak ekonomi dunia itu memberikan pengaruh yang berbeda di tiap negara. Di Amerika, tentu itu akan berbeda dengan Inggris dan Eropa. Amerika hanya bermasalah di inflasi.
Baca Juga
"Tetapi bagi negara yang situasinya berbeda seperti Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, tentu dampaknya akan lebih terasa karena negara-negara tersebut memiliki masalah tingkat inflasi yang tinggi dan juga pengangguran yang tinggi,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Senin (18/9/2023).
Advertisement
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Abdul meyakini bahwa Indonesia akan mampu melewati situasi dari gejolak tersebut, mengingat Indonesia pernah melewati situasi tekanan ekonomi yang lebih sulit. Hanya saja, Indonesia menurutnya, perlu melakukan penyesuaian secara mendalam dan melakukan langkah-langkah strategis agar turbulensi ekonomi dunia tidak mendorong hal terburuk terjadi di tingkat domestik.
“Saya melihat, Indonesia cenderung siap menghadapi gejolak ekonomi global saat ini. Karena Indonesia sudah pernah melewati situasi yang lebih buruk dari itu. Tinggal bagaimana kita melakukan penyesuaian internal dari kenaikan harga minyak itu," kata dia.
"Sebenarnya sudah banyak wacana-wacana yang berkembang terkait bagaimana meningkatkan diversifikasi produksi yang tidak hanya terbatas pada bahan-bahan mentah seperti minyak, tetapi bisa shifting ke energi terbarukan,” ujarnya.
Abdul menekankan bahwa mesti ada kebijakan strategis untuk menekan negara-negara produsen minyak, agar kedepan pembatasan produksi minyak dunia dapat dikontrol sebagaimana mestinya. Terlebih di dalam negeri, kenaikan harga minyak dunia tersebut tentu dapat mendorong pemerintah Indonesia dalam menaikan harga BBM. Hal tersebut dapat dilakukan demi merawat fiskal agar tetap defisit dibawah 3%.
Keadaan Pasar Modal
Sementara itu, Founder Tumbuh Makna, Muliadi San, menganalisis lebih jauh mengenai kekuatan ekonomi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa dalam konteks pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya dalam perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), masih dapat dikategorikan tergolong cukup stabil dalam merespons gejolak ekonomi dunia yang terjadi belakangan ini.
Ia melihat valuasi IHSG cenderung atraktif. Berdasarkan data dari 2013 sampai 2022, pada bulan September itu, IHSG ada di zona merah sebanyak 6 tahun dari 10 tahun. Artinya adalah di bulan September, IHSG itu kecenderungannya mengalami koreksi. Sementara di bulan Oktober, IHSG kita selama 8 tahun ada di zona hijau, dan hanya 2 tahun berada di zona merah.
"Jadi probabilitasnya di bulan Oktober IHSG itu mengalami kenaikan. Secara statistik hal ini cukup menarik untuk pasar saham kita di sisa bulan semester II 2023,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, terdapat peluang yang baik di sisi ekonomi yang lain di Indonesia. Hal tersebut, dalam analisanya, justru bisa dimanfaatkan dengan baik dan rasional oleh berbagai investor.
Advertisement
Profil Risiko
Namun, ia menyampaikan, para investor tentu harus memahami profil risiko masing-masing sebelum mengambil keputusan melakukan investasi. Contohnya dengan melakukan strategi pendekatan profil risiko agar dapat melakukan investasi secara kondusif dan aman.
Muliadi melihat untuk 12 bulan ke depan tentunya sentimen pasar akan lebih kondusif dan konstruktif. Sisi kondusif disini terlihat karena adanya faktor risiko perubahan moneter dan fiskal yang akan lebih minim.
Jadi pertimbangan sektor dan kelas aset yang lebih diuntungkan untuk diterapkan di portofolio akan lebih mudah diprediksi. Sementara untuk sisi konstruktif memiliki arti bahwa akan ada hal yang baik dan prospektif di dalam sektor IHSG.
"Ini terlihat karena pertumbuhan laba perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia masih cukup positif. Itu yang membuat kami bertahan dengan pandangan bahwa IHSG masih berpotensi mencapai level 7.400, dengan pertimbangan EPS growth di angka 9%-10%,” katanya.
Pilihan Investasi
Ia menambahkan bahwa obligasi dengan durasi tenor menengah bisa menjadi pilihan yang tepat bagi para investor, karena itu salah satu pilihan yang menarik di tahun 2024.
“Jika melihat data-data yang ada, tentu saya sangat optimis dengan saat ini, khususnya dengan obligasi-obligasi yang tenornya menengah sehingga dapat menjadi satu pilihan menarik bagi para investor,”
ujarnya. Sementara untuk investor yang cenderung konservatif, bisa melihat peluang pada Sukuk Ritel 019 yang telah diterbitkan Kementerian Keuangan yang dapat membantu progres kegiatan investasi dan mendorong pemerintah melakukan perkembangan ekonomi nasional.
Advertisement