Digitalisasi dan Aturan Pajak Hambat Ekspansi Bisnis ASEAN ke Pasar Global

Sebanyak 84 persen bisnis di Singapura berharap untuk dapat melakukan ekspansi ke negara-negara baru dalam jangka waktu 24 bulan ke depan.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 28 Sep 2023, 19:42 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2023, 19:26 WIB
Ilustrasi bendera negara anggota ASEAN
Ilustrasi bendera negara anggota ASEAN. (Gambar oleh Thuận Tiện Nguyễn dari Pixabay )

Liputan6.com, Singapura Stripe, perusahaan keuangan multinasional asal Irlandia mengeluarkan studi terbaru yang menemukan, para pelaku bisnis di Singapura dan ASEAN optimistis mengenai prospek ekspansi ke pasar internasional. Namun, mereka masih terhambat sejumlah kendala semisal digitalisasi dan aturan pajak.

Regional Head and Managing Director Southeast Asia, India & Greater China Sarita Singh melaporkan, sebanyak 84 persen bisnis di Singapura berharap untuk dapat melakukan ekspansi ke negara-negara baru dalam jangka waktu 24 bulan ke depan.

"Ekonomi digital yang berkembang pesat di Asia Tenggara memiliki potensi global luar biasa. Kecerdasan dan tekad kewirausahaan yang muncul dari kawasan ini akan terus menciptakan dampak global," kata Sarita dalam rangkaian acara Stripe Tour Singapore, dikutip Kamis (28/9/2023).

Meski demikian, seiring dengan meningkatnya skala operasi internasional mereka, ada beberapa tantangan signifikan yang harus diatasi. Tantangan-tantangan ini menciptakan tekanan bagi para pemimpin keuangan di Asia Tenggara, yang perlu menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menyelesaikan permasalahan secara manual.

Menurut studi terbaru Stripe tentang CFO (Chief Financial Officer) dan pemimpin keuangan global, sebanyak 89 persen pemimpin keuangan di Singapura menghabiskan lebih dari separuh waktunya untuk mengerjakan tugas-tugas di belakang layar secara manual, yang seharusnya dapat digunakan untuk pekerjaan lebih strategis untuk arah kemajuan perusahaan.

Biaya yang dikeluarkan dari tugas-tugas manual tersebut tidak hanya berkaitan dengan waktu, tetapi juga berdampak pada pengambilan keputusan bisnis. Sebanyak 65 persen pemimpin keuangan di Singapura berpikir, ekspansi ke pasar baru sulit dilakukan karena adanya potensi gangguan pada sistem keuangan yang sudah ada.

 

Ekspansi

Bendera ASEAN
Ilustrasi ASEAN. (Gunawan Kartapranata/Creative Commons)

Tantangan terbesar lain yang menghambat perusahaan melakukan ekspansi ke tingkat global, berurusan dengan lingkungan pajak internasional yang semakin kompleks.

Stripe mengemukakan, sebanyak 68 persen pemimpin keuangan di Singapura percaya bahwa persyaratan pajak bisnis mereka menjadi lebih kompleks. Merespon hal itu, Stripe merancang Stripe Tax, bagian inti dari rangkaian otomatisasi pendapatan dan keuangan untuk mengatasi tantangan pajak. Produk ini memberikan pemilik bisnis kemudahan dalam mengumpulkan pajak penjualan, PPN, dan GST secara otomatis pada transaksi Stripe di lebih dari 40 negara.

Sarita mengumumkan, produk juga akan diperluas lebih lanjut di negara-negara yang tercakup di ASEAN selain Singapura seperti Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Thailand.

"Hal ini akan mempermudah pemilik bisnis di kawasan tersebut untuk melakukan ekspansi ke pasar negara tetangga yang berkembang pesat tanpa berhadapan dengan rumitnya prosedur pajak tambahan," tuturnya.

 

 

 

 

Banyak Pengusaha Indonesia Terlahir dari Instagram dan TikTok

Regional Head and Managing Director for Stripe in Southeast Asia, Sarita Singh dalam acara Stripe Tour di Singapura, Rabu (27/9/2023). (Maul/Liputan6.com)
Regional Head and Managing Director for Stripe in Southeast Asia, Sarita Singh dalam acara Stripe Tour di Singapura, Rabu (27/9/2023). (Maul/Liputan6.com)

Sebelumnya, transformasi digital telah banyak merubah pola bisnis di Indonesia. Kebanyakan pengusaha tak lagi mengincar lapak tradisional untuk menjual produk barang atau jasanya, tapi langsung menyasar pasar online. 

Regional Head and Managing Director for Stripe in Southeast Asia Sarita Singh menilai, pola itu berkebalikan dengan apa yang terjadi di belahan dunia bagian barat, yang memulai geliat bisnisnya dari pasar offline.

"Sebagian besar negara maju ada kebarat-baratan biasnya memulai bisnis offline. Misalnya, saya sebagai retailer pasti memulainya secara offline, baru nantinya membangun bisnis digital," ungkapnya di Stripe Tour di Singapura, Rabu (27/9/2023).

"Yang berbeda dari Asia Tenggara adalah banyak bisnis yang juga baru dibangun dalam 10-15 tahun terakhir. Mereka memulainya sebagai digital natives, baru kemudian menjamah offline," imbuh Sarita. 

Menurut dia, kebalikan tren bisnis tersebut jadi suatu pola yang menarik. Pasalnya, saat ini banyak pengusaha-pengusaha digital yang memulai bisnisnya di media sosial seperti Instagram dan TikTok Shop juga tak ingin ketinggalan pasar offline. 

"Banyak bisnis yang dimulai di Instagram, atau di semua jenis platform lainnya. Namun kemudian, seiring pertumbuhannya, mereka berpindah dari online ke offline," kata Sarita. 

Tak mau ketinggalan, Stripe selaku platform pemrosesan pembayaran turut memanfaatkan momentum tersebut. "Ini sangat penting untuk pasar-pasar tersebut, dan kami semakin banyak menghadirkan solusi offline, karena kami memiliki pembayaran online, pembayaran digital, dll," ungkapnya. 

"Jadi kedua tren tersebut sebenarnya lebih banyak mendorong otomasi bisnis di tingkat middle dan back office. Itu kemudian yang menjadi tanggung jawab kami," ujar Sarita. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya