Pemerintah Mengaku Sulit Atur Sebaran Plastik Kresek di Pasar Tradisional

Pemerintah saat ini belum mendapati adanya barang pengganti yang bisa menggantikan peran kresek, yang pastinya tidak memberatkan pedagang maupun konsumen secara biaya.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 16 Okt 2023, 16:30 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2023, 16:30 WIB
Nasib Pedagang Plastik
Abdullah menunjukkan plastik sekali pakai dan kantong ramah lingkungan yang dijual di Pasar Tebet Barat, Jakarta. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah target mengurangi sampah plastik yang jatuh ke laut menjadi 70 persen pada 2025. Namun demikian, masih ada sejumlah tantangan yang sulit dientaskan, salah satunya penyebaran plastik sekali pakai alias plastik kresek di pasar tradisional.

Hal itu diamini Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kemenko Maritim dan Investasi, Rofi Alhanif. Meskipun sejumlah kabupaten/kota telah melarang pemakaian kantong plastik sekali pakai, tapi ia mengakui penggunaannya masih dibutuhkan.

"Memang itu challenge buat kita ya. Di beberapa kabupaten/kota/provinsi sudah ada pembatasan penggunaan plastik sekali pakai, terutama kresek," ujar Rofi di Kantor Kemenko Marves, Jakarta, Senin (16/10/2023).

"Di ritel yang bagus, supermarket kan sudah berkurang. Tetapi memang di yang (pasar) tradisional ini masih challenge," kata dia.

Pasalnya, Rofi menambahkan, pemerintah saat ini belum mendapati adanya barang pengganti yang bisa menggantikan peran kresek, yang pastinya tidak memberatkan pedagang maupun konsumen secara biaya.

"Salah satunya adalah, karena memang kita belum punya pengganti yang paling efisien menggantikan plastik sekali pakai," imbuh dia.

Adapun menurut laporan UN Environment Program, sekitar 400 juta ton sampah plastik terkumpul setiap tahunnya, dimana yang telah didaur ulang masih kurang dari 10 persen daripadanya.

Sementara sekitar 85 persen dari kantong plastik tersebut salah dikelola atau berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) untuk dibakar, sehingga menimbulkan polusi udara.

Dari 400 juta ton sampah plastik tersebut, sekitar 75-199 juta tonnya bahkan ditemukan di lautan. Menurut hasil riset grup penelitian Jambeck, Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua dunia di bawah China, sekitar 187,2 juta ton.

"Produksi plastik global menghasilkan sekitar 400 juta ton atau setara dengan berat 100 juta gajah," ucap peneliti Economic Research Institute for ASEAN and East Asia, Reo Kawamura pada kesempatan sama.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Hai Negara Maju, Jangan Setir Indonesia Soal Penggunaan Plastik

Kantong Plastik Masih Marak di Pasar Tebet
Warga menggunakan kantong plastik saat berbelanja di Pasar Tebet Barat, Jakarta, Kamis (6/2/2020). Pemprov DKI telah menetapkan Pasar Tebet Barat dan Pasar Tebet Timur sebagai pasar percontohan gerakan pengurangan kantong kresek atau kantong plastik sekali pakai. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, ingin mengurangi angka polusi sampah plastik yang makin bertebaran di lautan. Inisiatif ini akan dibahas dalam agenda ASEAN Conference for Combating Plastic Pollutuon (ACCPP) di Shangri-La Hotel, Jakarta pada Selasa (17/10/2023) besok.

Namun, Menko Luhut dan jajarannya tak ingin Indonesia dan negara ASEAN justru disetir oleh negara maju dalam penggunaan plastik, yang masih jadi bagian dalam perputaran roda ekonomi.

Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kemenko Marinves Rofi Alhanif mengatakan, gelaran ACCPP besok akan menghadirkan banyak kepentingan, termasuk dari negara maju. Namun, ia ingin Indonesia dan ASEAN juga punya sikap tegas dalam manajemen sampah plastik.

"Kita sebagai negara ASEAN harus punya posisi juga, dan harus kuat. Kita juga jangan disetir oleh negara maju, jangan pakai plastik segala macam, atau apapun lah. Kita belum tahu nih arahnya ke mana," ujarnya dalam sesi media briefing di Kantor Kemenko Marinves, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Belum Bisa Dipisahkan

Pasalnya, Rofi menilai, plastik jadi suatu komoditas yang belum benar-benar bisa dipisahkan dalam perputaran roda ekonomi. Jika dibatasi, ia khawatir itu justru akan mempersulit sektor industri untuk berkembang.

"Yang jelas, masalahnya bukan di plastiknya, tapi di pengelolaan sampah plastiknya. Kalau kita bisa lebih baik mengelola sampah plastiknya, harusnya itu tidak mengganggu ekonomi kita," tegas dia.

 


Kolaborasi

Nasib Pedagang Plastik
Abdullah (37) merapikan kantong plastik sekali pakai yang dijualnya di Pasar Tebet Barat, Jakarta, Selasa (30/6/2020). Jelang pemberlakuan larangan penggunaan plastik sekali pakai, Abdullah mengaku penjualan kantong kresek di tokonya menurun hingga 30 persen. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Adapun dalam gelaran ACCPP besok, Pemerintah RI mencoba untuk mendorong kolaborasi multipihak terkait pengelolaan sampah plastik. Menurut dia, itu bukan hanya tugas pemerintah saja, tapi juga pelaku industri, sektor informal, hingga masyarakat langsung.

"ASEAN ini kurang lebih sama lah kondisinya, sebagai negara yang berkembang. Jangan disamakan dengan negara maju yang sudah semua masyarakatnya tertib, industrinya sudah baik, dan juga recycling kapasitasnya juga tinggi," ungkapnya.

Dengan adanya event tersebut, Pemerintah RI berharap bisa tercapai pemahaman bersama atau common understanding di lingkup ASEAN untuk mengurangi angka sampah plastik di lautan.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya